Dewasa ini, rata-rata suhu bumi mengalami kenaikan sebesar 0,2 derajat Celcius per 10 tahun. Data NASA menunjukkan kenaikan suhu bumi disinyalir telah menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi 20 cm pada tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1900.
Menurut Prof. Drs. Jumina, Ph.D., jika tanpa ada upaya yang serius dan sistematis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer bumi, suhu rata-rata permukaan bumi yang pada tahun 2009 berada pada kisaran 14,6 derajat Celcius akan naik menjadi 25 derajat Celcius pada tahun 2500. Dengan demikian, bumi tidak lagi menjadi tempat hunian yang nyaman bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Bahkan, manusia mungkin juga tidak dapat bertahan pada kondisi ini.
"Dengan kata lain, umat manusia, hewan, dan mungkin tumbuh-tumbuhan akan musnah dari permukaan bumi. Karenanya, Presiden SBY dengan rumusan 5+1 pada KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen bertekad untuk melakukan berbagai upaya untuk menekan pemanasan global agar tidak lebih dari 2 derajat Celcius dari rata-rata temperatur bumi saat ini," tuturnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Jumina saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM, Selasa (23/2). Staf pengajar Jurusan Kimia FMIPA UGM ini mengangkat pidato "Tantangan dan Potensi Pemanfaatan Karbon Dioksida dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan".
Dikatakan Jumina bahwa sesungguhnya hampir semua orang menyadari betapa aktivitas pembakaran bahan bakar yang mereka lakukan telah mempercepat laju terjadinya pemanasan global. Namun, hingga kini tetap saja umat manusia sulit berpisah dengan bahan bakar minyak yang menjadi andalan untuk menopang kenyamanan hidupnya. Tidak sedikit manusia yang justru memicu terjadinya pemanasan global melalui penggunaan mobil-mobil berkapasitas mesin besar 2000-4000 cc. Sementara itu, masih sedikit di antara mereka yang memanfaatkan "sepeda hijau" sebagai sarana transportasi bebas polusi. "Sehingga tidak berlebihan bila kita mengatakan bahwa kita memang telah dimanjakan dan ‘dininabobokkan’ oleh BBM dalam kehidupan kita sehari-hari," kata pria kelahiran Kediri, 6 Mei 1965 ini.
Karbon dioksida (CO2) memang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Efek pemanasan yang ditimbulkan sesungguhnya lebih kecil daripada yang disebabkan oleh metana dan dinitrogen oksida. Meski begitu, karena konsentrasi CO2 di udara jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi metana dan dinitrogen oksida, CO2 diklasifikasikan sebagai penyebab utama terjadinya fenomena pemanasan global. "Data Energy Information Administration menunjukkan jumlah emisi karbon dioksida di dunia pada tahun 1990 sebanyak 21,6 juta metrik ton dan meningkat menjadi 23,9 juta metrik ton pada tahun 2001. Jumlah emisi CO2 ini diproyeksikan meningkat menjadi 27,7 juta metrik ton pada tahun 2010 dan menjadi 37,1 metrik ton pada tahun 2025," ucap suami Dra. Susilowati dan ayah dua putra ini.
Dikatakan Jumina, terjadinya peningkatan emisi CO2 secara terus-menerus inilah yang menjadikan para pakar lingkungan merasa prihatin. Usaha untuk mengurangi pun dilakukan, antara lain, melalui kesepakatan Protokol Kyoto pada tahun 1999. Dari Protokol Kyoto ini telah disepakati pula pemberlakuan kredit karbon yang didefinisikan sebagai hak bagi sebuah negara atau lembaga industri untuk mengemisikan CO2 ke atmosfer setelah negara atau lembaga industri membayar sejumlah nominal tertentu sebagai kompensasi atas volume CO2 yang diemisikannya. Pada gilirannya, dana kredit karbon tersebut dapat dibayarkan atau diklaim oleh negara atau lembaga yang telah terbukti melakukan aktivitas pengurangan emisi CO2 ke atmosfer, di antaranya dengan melakukan kegiatan penghijauan, penanaman hutan, penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan emisi CO2, seperti energi surya, panas bumi, gelombang laut, dan sebagainya.
"Harga kredit karbon ini berkisar antara USD 10-13 per ton CO2 dan mekanisme pembayaran serta klaimnya dikoordinasikan oleh sejumlah badan dunia, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan European Union (EU)," kata Jumina. Ditambahkannya bahwa masalah kredit karbon ini sesungguhnya merupakan area bisnis yang menjanjikan. Jika penghijauan, penanaman hutan dan penyuntikan CO2 ke dalam perut bumi (geosequestration) dianggap sebagai cara-cara yang biasa, lambat dan rentan terhadap kebocoran, sesungguhnya terdapat cara "revolusioner" yang digunakan untuk mengurangi emisi CO2 ke atmosfer, yaitu melalui pengolahan CO2 menjadi produk yang bermanfaat.
"Emisi CO2 yang berasal dari sektor transportasi memang kurang layak untuk dimanfaatkan akibat kesulitan dan kerumitan proses penampungannya. Namun, emisi CO2 yang berasal dari sektor industri yang bersifat lebih terkumpul sangatlah mungkin diolah lebih lanjut," ujar Ketua Task Force Pendirian Program Studi Kimia Terapan, Jurusan Kimia, FMIPA UGM ini.
Dengan konsumsi solar sebesar 12,2 juta kiloliter pada tahun 2008, ditambahkan Jumina, sektor industri di tanah air telah menyumbang emisi CO2 sebesar 29,5 juta ton. "Dengan harga rata-rata kredit karbon sebesar USD 20 per ton CO2, maka nilai kredit karbon yang dapat diklaim oleh sektor industri nasional pada tahun 2008 mencapai USD 590 juta atau sekitar 5,9 triliun rupiah," terangnya.
Pada saat yang sama, industri bioetanol berbahan baku tetes tebu dan singkong di tanah air, yang memiliki kapasitas produksi sebesar 240 juta liter pada tahun 2008, telah menyumbang emisi CO2 sebagai produk samping sebesar 180 ribu ton. Jika emisi CO2 ini dapat dikonversi menjadi produk yang berdaya guna, maka nilai kredit karbon sebesar 36 miliar rupiah per tahun akan dapat diklaim oleh perusahaan-perusahaan bioetanol tersebut. "Sekiranya biaya pengolahan CO2 menjadi produk-produk olahan tersebut sama dengan nilai jualnya, maka perusahaan masih akan mendapatkan keuntungan dari penjualan kredit karbon," jelasnya.
Namun, bila produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi serta terdapat surplus antara nilai jual dengan biaya proses, perusahaan tentu akan menikmati keuntungan, baik dari selisih margin maupun penjualan kredit karbon. "Dengan demikian maka bisnis pengolahan CO2 menjadi produk-produk yang bernilai ekonomi tinggi ini mestinya merupakan peluang bisnis yang sangat menjanjikan, khususnya bagi produsen bioetanol di tanah air maupun sektor industri lain yang menggunakan bahan bakar industri dalam jumlah besar," pungkas Jumina. (Humas UGM/ Agung)