Sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) telah lama menjadi amanat konstitusi. Kendati begitu, penerapannya masih jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis semakin mendominasi struktur ekonomi Indonesia. “Mayoritas aset dan pengelolaan produksi nasional dipegang dan dikelola pemodal asing,” kata peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PSEK), Awan Santosa, S.E., M.Sc., Jumat (12/3) dalam seminar dan launching buku Ekonomi Kerakyatan.
Saat ini, kurang lebih 67 persen saham perusahaan di BEI dan 50 persen bank umum serta 85,4 persen ladang migas sudah dikuasai pemodal luar negeri. Para pemodal tersebut juga mendominasi perkebunan, ritel, telekomunikasi, air minum, aneka tambang, dan berbagai sektor strategis lainnya. “Dari amanat konstitusi, seharusnya produksi dilakukan bersama dan untuk kepentingan bersama. Namun, bukan koperasi dan serikat ekonomi yang berkembang, justru para pemilik korporasi,” imbuhnya.
Menurut Awan, tidak berkembangnya ekonomi kerakyatan disebabkan belum adanya model pengukuran sebagai indikator untuk menentukan berhasil atau tidaknya praktik ekonomi kerakyatan. “Jangankan model ukuran, sekadar teori saja kita belum punya. Selama ini hanya lebih ke wacana,” jelasnya. Berbeda halnya dengan sistem ekonomi neoliberal, yang memiliki ukuran-ukuran sebagai indikator, seperti adanya indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, inflasi, indeks keterbukaan ekonomi dan bisnis.
Awan menilai para penggiat dan peneliti ekonomi kerakyatan sudah seharusnya masuk ke wilayah terapan dan tidak lagi berwacana. “Kita seharusnya menemukan teori baru, apa variabel ekonomi kerakyatan. Kita harus memiliki ukuran berbeda dari ekonomi neoliberal yang berlaku selama ini,” katanya.
Seminar ini ditandai dengan peluncuran buku Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi. Buku ini berisi berbagai konsep ekonomi kerakyatan dengan model pengukuran melalui Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI). IDEI merupakan indeks komposit yang terdiri atas tiga dimensi utama, demokrasi produksi, demokrasi alokasi dan konsumsi, serta demokrasi penguasaan faktor produksi. “Secara keseluruhan, ada 21 variabel yang bisa sebagai alat ukur penerapan ekonomi kerakyatan,” kata Awan selaku penulisnya.
Dalam kesempatan tersebut, PSEK juga menghadirkan penulis buku dari School for High Studies of Social Sciences, Paris, Stephanie Barral. (Humas UGM/Gusti Grehenson)