Sungai bawah tanah (SBT) Bribin, Kabupaten Gunung Kidul, merupakan salah satu sungai yang mempunyai potensi besar dan menjadi tumpuan pemenuhan air domestik masyarakat di kawasan karst Gunungsewu. Terlebih lagi, daerah ini dikenal sebagai daerah yang sulit air karena aliran sungai mencapai 100 meter di bawah permukaan tanah sehingga sulit dimanfaatkan. Pemboran dan pembuatan bendungan bawah tanah dengan sistem mikrohidro di Gua Bribin diharapkan dapat meningkatkan kapasitas layanan distribusi air tanah karst menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Dengan proyek ini diharapkan ada kelangsungan sumber daya air tanah Bribin dalam waktu yang panjang.
Selama ini, penambangan karst oleh penduduk sekitar memengaruhi suplai air di bawah tanah SBT Bribin. Padahal, kawasan karst merupakan kawasan bebatuan karbonat yang memiliki kandungan air melimpah. Kandungan air yang besar disebabkan adanya celah pada batuan sehingga air dapat meresap jauh dan tersimpan dalam batuan.
Dalam penelitian staf pengajar Fakultas Geografi UGM, Tjahyo Nugroho Adji, S.Si., M.Sc.Tech., saat ini diketahui terdapat perbedaan agresivitas air tanah karst untuk melarutkan batuan gamping antara daerah hulu dan hilir Sungai Bribin. “Pada musim kemarau, bagian hulu SBT Bribin menunjukkan air sudah tidak mampu untuk melarutkan batuan gamping. Sebaliknya, air sungai bawah tanah di bagian hilir mampu melarutkan batuan gamping,” kata Nugroho Adji dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Geografi, Sabtu (20/3).
Dalam disertasinya, Nugroho menjelaskan perbedaan sifat agresivitas disebabkan sifat pelorongan yang berbeda antara hulu dan hilir. Dengan tingkat pelorongan yang besar (conduit) yang sudah berkembang di Gua Bribin memungkinkan pencemar setiap saat dapat masuk dengan bebas ke SBT Bribin.
Dari sisi penyediaan sumber daya air, Gua Bribin mempunyai pelepasan komponen rembesan (diffuse) yang perlahan-lahan dengan fluktuasi kecil. Sementara itu, gua-gua lain di SBT Bribin pada umumnya mempunyai sifat pelepasan diffuse yang lebih cepat sehingga pada puncak musim kemarau debitnya sangat kecil, terutama di Gua Gilap dan Gua Ngereng.
Kepada wartawan, Nugroho mengatakan pemanfaatan karst untuk batu gamping perlu dievaluasi kembali guna ketersediaan air dalam waktu lama. “Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya konservasi di permukaan daerah tangkapan hujan SBT Bribin,” jelas pria kelahiran Magelang, 28 Januari 1972, yang lulus ujian doktor dengan predikat cumlaude ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)