Pengalaman di sejumlah negara berkembang mengajarkan bahwa pariwisata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat jika dikelola secara cermat dengan menerapkan strategi yang berpihak pada orang miskin (pro-poor tourism). Strategi ini mencoba mempertajam orientasi pembangunan pariwisata dengan memperpendek mata rantai distribusi hasil pariwisata. Salah satu misalnya adalah dengan memfasilitasi interaksi langsung antara masyarakat lokal dengan wisatawan dalam penyediaan atau pengembangan objek serta daya tarik wisata.
Hal tersebut dilakukan dengan cara melibatkan masyarakat lokal yang menjamin mereka memahami proses pengambilan keputusan tentang bentuk kegiatan pariwisata sesuai dengan ketersediaan dan kapasitas sumber daya setempat. "Prinsip utamanya adalah bahwa pariwisata hanya mampu bertahan (sustainable) jika dampaknya pada peningkatan kesejahteraan dirasakan masyarakat secara langsung, khususnya mereka yang bermukim di destinasi pariwisata. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mampu mengakselerasi pengembangan commmunity-based tourism, yaitu Pariwisata Berbasis Komunitas (PBK)," kata Prof. Dr. Phil. Janianton Damanik, M.Si. di Balai Senat UGM, Kamis (29/4).
Pernyataan itu disampaikannya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dengan mengucap pidato "Merancang Format Baru Pariwisata yang Menyejahterakan Rakyat". Wujud PBK di lapangan berupa pelibatan masyarakat dalam pelatihan peningkatan kapasitas, distribusi kredit usaha, perencanaan bisnis, pengembangan produk, dan pemasaran pariwisata.
Dalam hal ini, peran dan inisiatif stakeholders sangat menentukan dalam mengatasi keterbatasan masyarakat lokal, misalnya dalam bidang kompetensi teknis pengelolaan pariwisata sehingga pengembangan PBK berjalan lebih cepat. Pada posisi ini, kata Damanik, masyarakat memerlukan pendampingan lebih lanjut untuk merumuskan gagasan dan mengalokasikan sumber daya bagi pengembangan pariwisata. "Hal ini tentu mencegah masyarakat untuk tidak terjebak dalam lakon sebagai penonton, tetapi penanggung jawab dan pelaku aktif dalam pariwisata," papar pria kelahiran Simalungun, 22 September 1962 ini.
Menurut Damanik, pengembangan PBK sebagai format baru pariwisata yang menyejahterakan rakyat memiliki justifikasi teoritik yang kuat sebagai kritik atas bentuk pariwisata massal yang mengandalkan kekuatan kapital sebagai motor penggeraknya. Bentuk PBK menawarkan alternatif dengan mengutamakan ciri padat karya, tetapi lebih sesuai (appropriate) dengan kondisi ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Khususnya di destinasi pariwisata yang masih menghadapi keterbatasan SDM, pengembangan PBK akan mengoptimalkan pemanfaatan tenaga kerja lokal secara efektif dan meningkatkan efek pengganda pekerjaan. "Fleksibilitasnya yang tinggi terhadap perubahan lingkungan eksternal menjamin PBK tidak mudah terhempas oleh gejolak krisis," ujar suami Thresya Andriany Hutabarat dan ayah dua anak ini.
Janianton Damanik menilai pengembangan PBK memiliki sejumlah keunggulan di dalam menciptakan kesejahteraan rakyat, di antaranya unit-unit usaha pariwisata yang pada umumnya berskala kecil-menengah. Hal ini lebih sesuai dengan kapasitas manajemen masyarakat yang mengelola sumber daya lokal. Lagi pula, unit-unit bisnis tersebut membuka peluang lebih lebar bagi komunitas lokal untuk menjadi pelaku utama di dalam bisnis pariwisata. Pengembangan PBK ini juga akan meningkatkan efek pengganda ekonomi bagi masyarakat di destinasi pariwisata dan mencegah ekses kebocoran devisa ke luar negeri.
Di samping itu, PBK efektif membuka peluang kerja dan usaha bagi warga miskin di destinasi pariwisata. Hal ini sangat strategis karena akses mereka terhadap sumber-sumber ekonomi sangat terbatas. Peluang usaha terutama tercipta pada aktivitas pengadaan barang dan jasa untuk wisatawan. "Misalnya penyediaan makanan lokal, bahan baku bangunan, termasuk tenaga kerja di berbagai usaha pariwisata. Penggunaan tenaga lokal ini juga memberikan keuntungan lain berupa efek psikologis bagi masyarakat dalam bentuk kebanggaan sebagai pemilik sumber daya pariwisata setempat, sekaligus alat untuk meredam potensi kecemburuan sosial," pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)