JOGJA (KU) – Sampah itu bau dan menjijikkan, terutama sampah dari bahan organik. Namun, bagi Mujiono (34), sampah ternyata bisa mendatangkan manfaat yang berlimpah ruah. Lewat ketelatenan dan keuletannya, sampah sisa nasi dan buah-buahan dari Kantin Humaniora Mandiri, Fakultas Ilmu Budaya, dan Food Court Gelanggang Mahasiswa UGM berhasil diolah menjadi pupuk kompos.
Pengalamannya yang segudang dalam pengelolaan sampah di Kampung Sukunan, Kelurahan Banyuraden, Gamping, Sleman, menjadikan Mujiono tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengolah sampah-sampah buangan kantin ini.
"Yang di UGM, sampahnya jelas beda. Sampah di sini, barangkali orang bilang akan jijik karena terdiri sampah buah campur nasi yang banyak cairannya. Sampah ini lebih cepat baunya dan muncul belatung. Bagi saya, hal ini sudah biasa," kata pria kelahiran Sleman, 17 Agustus 1976 ini.
Menurut bapak dua anak ini, sampah kantin yang banyak mengandung air ini termasuk tidak mudah mengubahnya menjadi kompos. "Karena becek (basah) harus dicampur dengan kompos kering dan kompos sekam (padi) saat dimasukkan di drum komposter. Karena tanpa itu, kalau dari sampah saja tidak akan bisa diolah jadi kompos," kata pria yang hanya mengenyam pendidikan di bangku SMP ini.
Rutin Ambil Sampah Kantin
Tiap pagi, Mujiono datang mengambil sampah dari dua kantin itu. Sampah kemudian dimasukkan ke dalam drum komposter yang tersedia di kantor Satuan Petugas Kebersihan di Lembah UGM. Dari Kantin Humaniora, sedikitnya ia mendapat 20 kilo sampah tiap hari. Sementara itu, di Food Court hanya 1-2 kilo sampah.
Di Lembah UGM, Mujiono memanfaatkan 18 drum komposter sebagai tempat proses fermentasi sampah organik. Namun, selama 3 bulan ia bekerja di UGM, baru 11 drum yang sudah terisi sampah organik. Tiap drum membutuhkan waktu 25 hari untuk proses fermentasi. "Setiap drum komposter hanya bagian atasnya yang bisa dipanen karena bagian bawah banyak mengandung endapan air. Biasanya bagian bawah ini lalu dipindahkan ke drum baru dan ditaruh sebelah atasnya," jelasnya.
Diakui Mujiono, pupuk kompos hasil pengelolaan sampah organik memang belum seberapa. Saat ini baru terdapat dua buah karung kompos yang ditaruhnya di belakang dapur markas petugas kebersihan. Untuk pemanfaatan pupuk kompos, Mujiono menyerahkan sepenuhnya kepada pihak UGM. Menurut hematnya, sebaiknya kompos tersebut digunakan untuk memupuk tanaman di lingkungan sekitar UGM.
Apa yang dilakukan Mujiono memang pantas ditiru. Namun disayangkan, pengerjaan pengelolaan sampah organik ini masih dikerjakannya seorang diri. Tidak ada satu pun rekan petugas kebersihan UGM yang mau mengikuti jejaknya. Kendati begitu, Mujiono tidak pernah patah arang. Baginya, mengelola sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat merupakan salah satu bentuk kampanye untuk melestarikan lingkungan. "Sebenarnya, saya ingin berbagi pengalaman dengan orang lain. Saya pikir orang (petugas kebersihan) masih malu mengelola sampah seperti saya ini," ujar Mujiono yang mendapat honor dari UGM sebesar Rp300.000,00 sebulan dari pekerjaan yang dilakoninya saat ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)