Ketika praktik UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan masih menyisakan permasalahan dan tidak lagi mampu mendorong ke arah terciptanya tertib pembentukan peraturan perundang-undangan, Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah (Sadar Otda) Fakultas Hukum UGM bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memandang perlu membahasnya kembali. Kedua pihak berpandangan bahwa UU No. 10 Tahun 2004, baik dilihat dari sisi substansi maupun teknik perundang-undangan, memiliki permasalahan yang mendasar.
Bahkan, DPD RI sebagai Panitia Perancang Undang-undang (PPUU) telah mengidentifikasi beberapa materi terkait dengan UU ini. Beberapa substansi tersebut, antara lain, konsepsi dan asas perancangan perundang-undangan, lembaga pembentuk undang-undang, hierarki perundang-undangan, dan proses pembentuk undang-undang.
Dalam Focus Group Discussion yang digelar oleh keduanya di Fakultas Hukum UGM, Kamis (3/6), Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. selaku pembicara mengatakan sebagai produk inisiatif DPR yang diberlakukan 1 November 2004, UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dinilai sebagai produk hukum yang prematur. Dari sisi akademik, UU ini sudah sejak lama diancangkan untuk di-prolegnas-kan. "Yang menarik ada permasalahan di situ justru tidak diselesaikan. UU itu terkesan seperti diproyekkan. Karena sadar terdapat permasalahan tidak diselesaikan, mestinya kan diselesaikan baru diundangkan," ujar dosen Hukum Tata Negara UGM ini.
Yang memprihatinkan, saat DPR menyusun Prolegnas I (2005-2009), produk UU ini langsung terdaftar sebagai UU yang harus mendapat revisi dalam urutan prioritas. Namun, seiring berakhirnya masa bakti anggota DPR, UU ini pun urung direvisi. "Sedari awal sudah nampak akan timbul masalah. Idealnya diperbaiki dulu sehingga tidak terkesan asal-asalan berinisiatif sebab kondisi ini berimplikasi pada lembaga pembentuk UU serta berefek ketidakpastian hukum," terangnya.
Dikatakan Enny, sebagai negara hukum yang demokratis, kondisi tersebut jelas memperlihatkan tidak munculnya sinkronisasi hukum di Indonesia. Keberadaan berbagai UU ternyata tidak seperti yang diharapkan. "Undang-undang kita pada level nasional saat ini, mulai dari UU, PP, tumpang tindih tidak karu-karuan. Ngeri saya melihatnya," ujar Enny.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan produk undang-undang yang baik, Enny berharap agar berpegang pada azas kehati-hatian, azas yang dapat digunakan saat menyusun perundang-undangan di level nasional hingga internasional. "Banyak sekali proses perundang-undangan yang modelnya belum selesai sudah ganti. Kemudian, pasal-pasalnya belum ada, sudah ganti lagi. Itulah yang sering kali terjadi," ucapnya.
Terkait dengan proses revisi UU No. 10/2004, Enny pun berpendapat semestinya penyelesaian tidak lagi sekadar kompilasi karena draf proses revisi yang berasal dari DPD terkesan kuat seperti itu. "Bahwa draf yang disusun sepertinya meng-compile Tap MPRS No. 20/1966 ditarik kembali, kemudian Tap MPR No. III/2000, UU No. 10 tahun 2004. Bukan sekadar kompilasi, tetapi bagaimana kemudian mengkaji berbagai permasalahan yang muncul dari UU No. 10 tahun 2004 untuk penyempurnaannya," jelasnya.
B. Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum., staf pengajar Hukum Tata Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), berpandangan jika UU No. 10 tahun 2004 diubah menjadi UU tentang Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (SP3), kata "sistem" tersebut tentunya mengandung arti suatu tatanan yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya guna membentuk satu kesatuan. Jika arti kata "sistem" tersebut dikaitkan dengan nama UU yang akan menggantikan UU SP3, tampaknya UU ini akan mengatur berbagai komponen yang saling terkait satu sama lain dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan. "Dengan demikian, RUU SP3 diharapkan lebih lengkap dalam menampung seluruh aspek dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan," jelas Wakil Rektor UAJY, sekaligus Direktur Eksekutif Parliament Watch Yogyakarta ini.
Berpegang pada ketentuan Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004, yang menyatakan masyarakat luas dilibatkan semaksimal mungkin dalam proses penyusunan kebijakan, DPD RI selaku Panitia Perancang Undang-undang tampaknya akan terus melakukan Focus Group Discussion (FGD) di berbagai daerah. Di samping berharap masukan dari kalangan akademisi, praktisi, birokrasi tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, DPD RI pun berharap curah gagas dari LSM dan mahasiswa guna penyempurnaan draf RUU versi DPD yang akan dibawa ke DPR RI.
Tampak hadir dalam acara tersebut, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum UGM, Dr. Sigit Riyanto, S.H., L.L.M., yang sekaligus membuka acara. Sementara itu, dari DPD RI hadir, antara lain, Hj. Amang Syafroedin, Lc., Mohammad Afnan Hadikusumo, H. Kamaruddin, H. Pardi, S.H., Habib Abdullah, S.H., K.H. Abdi Sumardi, dan K.H. Sibli Sahabuddin. (Humas UGM/ Agung)