YOGYAKARTA – Pakar migrasi dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada Dr. Sukamdi, M.Sc., menilai keputusan Indonesia dan Malaysia untuk tidak lagi mengusir kapal yang mengangkut para pengungsi Rohingya dinilai sudah tepat. Terlebih, saat menawarkan juga tempat penampungan sementara. “Perlakuan terhadap Rohingya haruslah sama seperti saat kita memperlakukan pengungsi dari Vietnam. Penolakan sama sekali tak menyelesaikan masalah karena arus migrasi akan terus terjadi. Jika ditolak, mau kemana lagi mereka?” kata Sukamdi saat dihubungi wartawan Kamis (21/5).
Menurutnya, warga Rohingya sebenarnya sudah masuk dalam kategori pengungsi atau refugees yang harus dilindungi hak-haknya, terutama hak untuk hidup dan bertempat tinggal di wilayah yang menurutnya aman. Sayangnya, pemerintah masih mengkategorikannya sebagai imigran ilegal. “Warga Rohingya bermigrasi karena tidak punya pilihan lain. Mereka menghadapi konflik yang berlapis, tidak hanya horizontal seperti konflik antaretnis dan antaragama melainkan juga konfilk struktural, yakni dengan Pemerintah Myanmar,” kata Sukamdi
Tak bisa dipungkiri, keberadaan pengungsi merupakan beban bagi negara penampung. Oleh karena itu, prinsip-prinsip kerja sama kolektif dan solidaritas internasional harus dilakukan guna membantu negara penampung. Share responsibility artinya, beban tanggung jawab harus dibagi baik dengan negara asal, negara transit, negara tujuan, maupun dengan lembaga internasional seperti UNHCR.
Tanggung Jawab Myanmar
Jika negara-negara penampung sudah melakukan kewajiban kemanusiaannya, lalu bagaimana dengan negara asal? Sukamdi menambahkan, di dalam dokumen ICPD (International Conference on Population and Development) sebenarnya juga sudah diatur mengenai hal itu. Di sana jelas tertulis, setiap negara asal pengungsi (refugees) dan orang-orang terlantar (displaced person) harus berupaya untuk menekan faktor-faktor yang menjadi alasan mengapa orang-orang itu terpaksa pergi.
Pemerintah negara asal, dalam konteks ini Myanmar, kata Sukamdi, seharusnya mengambil langkah yang tepat, khususnya yang berkaitan dengan resolusi konflik, mengedepankan perdamaian dan rekonsiliasi, dan menghormati hak asasi manusia terutama kelompok minoritas seperti warga Rohingya. Namun, yang terjadi pemerintah justru mengambil sikap untuk membela kelompok mayoritas. Myanmar seolah acuh. Mekanisme yang tidak berjalan ini akhirnya menuntut peran lebih dari PBB serta negara-negara maju lainnya seperti Amerika Serikat. “Kita akan lihat seberapa jauh PBB bisa tegas terhadap persoalan ini. Jika menyangkut kebijakan suatu negara, saya melihat selama ini PBB hanya bersifat himbauan saja. Dia tidak sampai bisa mempunyai kebijakan atau policy yang mampu menekan negara tersebut agar bisa sesuai dengan visi dan misi PBB,” jelas Sukamdi.
Sukamdi menambahkan, kebijakan insentif dan disentif sebenarnya bisa diterapkan oleh PBB terhadap negara-negara anggotanya. Bagi negara yang mangkir misalnya, bantuan dari PBB akan dikurangi, sementara bagi negara yang mampu menekan angka laju pengungsi akan diberikan insentif. “Banyak sebetulnya yang mempertanyakan karena PBB dalam beberapa hal berlaku kurang adil. Seperti pepatah Jawa, emban cinde, emban ciladan, ada negara yang diperlakukan secara istimewa, ada yang tidak. Kini, kita akan melihat bagaimana peran PBB bisa optimal dalam penanganan pengungsi Rohingya dan konflik di Myanmar.” kata Sukamdi
Seperti diketahui, dari data UNHCR (Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi) Jakarta mencatat, hingga akhir Februari 2015 ada 4.400 pengungsi di Indonesia. Para pengungsi sebagian besar datang dari Afganistan (40 persen), Myanmar (17 persen), Palestina (8 persen), dan Somalia (7 persen). Pekan lalu, jumlah pengungsi bertambah karena 1.345 warga Rohingya terdampar di wilayah perairan Indonesia dan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat masih banyak yang berada di lautan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)