![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2015/05/24051514324294861305463635-765x510.jpg)
YOGYAKARTA – Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang frekuensi kejadian lonsor cenderung meningkat pada musim penghujan. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologis, terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Adapun Propinsi Jawa tengah memiliki lokasi rawan longsor terbanyak yakni 327 lokasi, dari lokasi potensi rawan longsor menengah sampai tinggi. Kabupaten Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki lokasi rawan longsor. Tanah longsor tersebar di sepuluh kecamatan dengan frekuensi longsor bervariasi.
Potensi longsor di Karanganyar dipengaruhi oleh morfologi perbukitan, patahan, batuan vulkanik yang mudah rapuh, lereng, curah hujan tinggi, dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi kerugian masyarakat dan korban manusia maka kinerja masyarakat dalam penanggulangan tanah longsor perupakan salah satu upaya mitigasi. “Pengetahuan masyarakat tentang tanah longsor secara konsisten sebagai faktor dominan berpengaruh terhadap kinerja masyarakat dalam penanggulangan tanah longsor,” kata Dosen FKIP Universitas Tadulako Tondo-palu, Sulawesi Tengah, Drs. Lilik Prihadi Utomo, M.Si., dalam ujian terbuka promosi doktor di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geogerafi Universitas Gadjah Mada, Sabtu (23/5).
Penelitian terhadap empat desa rawan longsor di Karanganyar yakni Desa Girilayu, Desa Gerdu, Desa Ngelegok dan Desa Tawangmangu, ditemukan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan longsor sangat berbeda. Kinerja masyarakat sangat rendah di desa Girilayu dam Nglegok sebesar 9,1% dan 13,62%. Sementara kinerja masyarakat yang tinggi dalam penanggulangan longsor justru pada desa Tawangmangu sebesar 18,2% dan Desa Gerdu 56,8%.
Meski demikian, kata Lilik, faktor geofisik seperti jenis batuan vulkanik, tingkat kemiringan lereng dan pola penggunaan lahan pada 4 desa ini berkontribusi terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam penanggulangan tanah longsor.
Menurutnya perlu meningkatkan persepsi masyarakat dalam menghadapi tanah longsor dengan cara melakukan penyuluhan pada kelompok tani, karang taruna yang bertujuan untuk menambah wawasan masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tanah longsor. “Termasuk meningkatkan pengetahuan tentang tanah longsor pada siswa melalui mata pelajaran,” katanya.
Selain itu, tambahnya, pemberian pelatihan dalam menghadapi tanah longsor melalui media dan simulasi dengan mengundang kelompok desa lain yang sudah memiliki pengalaman dalam penanggulangan bencana tanah longsor sangat diperlukan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)