Tanah hutan menjadi sumber konflik utama antara warga Orang Rimba (OR) dengan warga masyarakat desa, terutama dengan generasi muda desa. Seperti diketahui bahwa kebiasaan masyarakat pedesaan Jambi adalah membuka hutan untuk berladang dan kemudian menanam ladang mereka dengan tanaman karet. Di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dimana didalamnya komunitas 5000 jiwa OR berada, terdapat paling sedikit 25 desa asli dan desa transmigrasi. Tanah-tanah desa untuk perladangan dan kebun karet sudah mulai sedikit dan sulit di dapat. Oleh karena itu, apabila anak-anak muda desa ingin membuat kebun karet, maka satu-satunya cara adalah membuka lahan hutan alam lalu ditanami karet. Biasanya pembuatan kebun ini dibiayai oleh tuan kebun karet atau orang kaya didesa.
Demikian dikemukakan Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc saat menyampaikan makalah berjudul “Penindasan Sistematis Kepada Suku Orang Rimba” dalam seminar bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM (PSPK-UGM) pada hari Kamis, 6 Oktober 2005 lalu di pusat studi setempat.
Menurut Dosen Fakultas Kehutanan UGM ini, ekspansi lahan hutan untuk dijadikan kebun karet ini sudah “menabrak” domein dan habitat OR (dalam hutan negara maupun tanah cadangan negara yang masih berhutan, tetapi merupakan habitat OR). Akibatnya ekspansi dari orang-orang desa ini membuat “gelisah” warga OR. “Hampir setiap tahun habitat mereka dibuka dan diganggu oleh orang-orang desa, dan apabila batas kesabaran OR habis maka mereka melakukan perlawanan dengan cara mengusir orang-orang desa yang membuka hutan habitat mereka, dengan membela diri dengan kekerasan. Korban jiwa tidak terhindarkan”, ungkap pak Awang.
Pemerhati Sosial dan Sumberdaya Alam ini juga menambahkan model konflik ini mirip dengan model-model kapitalis yang menjalankan gurita bisnisnya di wilayah pedesaan, dan dalam hal ini pemilik modal desa dengan menggunakan tangan anak-anak muda desa berusaha “mencaplok” tanah milik “orang-orang tidak berdaya” seperti warga OR tersebut. Kaum kapitalis desa sudah tidak malu-malu lagi untuk “merampok” hak hidup OR yang konotasinya sebagai masyarakat primitive, terbelakang, bodoh, dan buta huruf. Kalau istilah Mao ada desa mengepung kota, maka kasus OR adalah “ada desa mengepung hak OR’. “Ironisnya konflik ini terjadi justru secara horizontal antar orang-orang desa (orang luar) dan OR dengan isu perebutan lahan hutan. Dalam hal ini Jenang (jabatan dari Sultan di tingkat desa yang bertugas memungut pajak dari masyarakat desa dan OR), kepala desa, instansi kehutanan, dan Camat tidak mampu menyelesaikannya kasus ekspansi tersebut”, tandas pak Awang. (Humas UGM)