Hikmah apa yang bisa dipetik dari tragedi kedua Bom Bali? Jelas sekali, dari peristiwa tersebut menunjukkan betapa lemah kontrol keamanan. Persepsi pun muncul, kerbau tidak mau terjebak kedua kali di lobang yang sama. Karena itu, bagi pasar hal tersebut dibaca sebagai ketidakseriusan pemerintah melindungi wisatawan. Tindakan rasional yang kemudian dilakukan kemudian adalah menghindari Indonesia sebagai daerah tujuan wisata. “Bahkan bukan tidak mungkin mencoret negeri ini dari daftar tujuan favorit”, ungkap Dr. Janianto Damanik dalam releasenya (11/10/05).
Dikatakan pak Anton, promosi segencar apapun tidak mampu menarik mereka jika yang diutamakan hanya sebatas eksotisme Bali. “Jadi sia-sia kalau terus memberikani wisman dengan seribu satu macam janji kenikmatan yang penuh jebakan ketidakamanan. Kan masih bisa dibuat prediksi yang optimis”, ujar pak Anton.
Dosen Program Magister Kajian Pariwisata Sekolah Pascasarjana UGM ini menuturkan, kalau melihat gambaran psikografi wisman, mereka termasuk golongan kritis, aktif menjelajah, suka mencari pengalaman baru yang beragam dan agak berani mengambil resiko (risk-taker). Segmen wisatawan seperti ini relatif besar. Merekalah loyal market dan diharapkan lebih objektif dan kritis menilai tragedi bom Bali, sehingga tidak dengan sendirinya membatalkan perjalanannya ke Indonesia.
“Artinya, akibat kejutan psikologis untuk sementara akan terjadi penurunan kunjungan wisman ke Bali dan Indonesia umumnya. Tetapi sebagai loyal market dan memiliki karakter psikografis yang – memimpin istilah Stanley Plog- allocentric atau berani dan suka petualang, mereka akan kembali lagi dalam waktu yang tidak lama”, ungkap pak Anton.
Dikemukakan pak Anton, bahwa kecenderungan ini yang terjadi sebelum Bom Bali II. Begitu Bom Bali I meneror wisman, eksodus pun tak terhindarkan. Travel warning mengisolasi negeri kita dari peta destinasi wisata negara-negara asal wisatawan penting Indonesia. “Namun beberapa bulan berikutnya, perlahan tapi pasti, mereka “come back”. Travel warning dipandang sekedar pesan iklan biasa,” tutur pak Anton.
Lebih jauh, pak Anton menjelaskan, kalau begitu tentu ada tugas berat sektor pariwisata Indonesia sekarang. Yakni memelihara objektivitas dan akurasi informasi keamanan wisata dan kualitas produk yang tersedia. “Pasar yang setia tadi harus terus disodori dengan informasi keamanan wisata secara jelas, rinci dan akurat. Jangan memberi informasi yang rancu dan menyesatkan, tapi jelaskan fakta itu secara objektif, meskipun dengan perasaan getir”, tukas pak Anton.
Ditambahkan pak Anton, sambil menunggu psikologis pasar kembali normal, tindakan konsolidasi semua pemangku kepentingan juga merupakan keharusan. Tidak adil menyerahkan penanganan keamanan kepada aparat keamanan semata, meskipun hal itu merupakan tugas pokok mereka. “Oleh sebab itu energi dan peran komunitas lokal, pecalang, harus direvitalisasi dalam konteks pariwisata. Travel agent pun perlu dibekali kepekaan yang tinggi tentang ancaman keamanan penumpang”, tegas pak Anton. (Humas UGM)