Keberpihakan, perhatian yang sangat besar pemerintah kepada konglomerat dan BUMN ternyata masih belum memberikan hasil yang menggembirakan. Coba dilihat betapa besar beban perusahaan yang bangkrut dan semula dikelola oleh BPPN dan akhirnya harus menjadi tanggung jawab pemerintah? Bandingkan besar angsuran pinjaman dengan alokasi APBN untuk sector pendidikan. Nampaknya pemerintah masih belum menyadari betapa pentingnya investasi jangka panjang dibidang sumber daya manusia. Tengoklah bagaimana Malaysia mengirimkan putra terbaiknya atas biaya negara ke sekolah ternama di Amerika, Inggris, dan negara Eropa lainnya. “Kapan kita dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa ASEAN lainnya?,” tanya Dr. R. Agus Sartono, MBA dalam releasenya Jum’at, 21 Oktober 2005.
Menurutnya, perusahaan besar yang telah lama diproteksi ternyata hanya mengeksploitasi pasar domestik dan tidak memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan daya saing agar mampu bermain di pasar global. “Indikatornya sangat jelas bahwa 150 perusaaan terbaik di Asia didominasi oleh perusahaan dari Japan (49 perusahaan); Taiwan (26 perusahaan); Korea (17 perusahaan); India (16 perusahaan); China (15 perusahaan); Hongkong (13 perusahaan); Thailand (7 perusahaan); Malaysia (4 perusahaan) dan Indonesia (3 perusahaan). Ketiga perusahaan dari Indonesia tersebut menduduki ranking 24, 27 dan ranking 87. Kinerja tersebut diukur dengan total return, net margin, dan return on equity”, ungkap dosen FE UGM.
Sekretaris Eksekutif UGM ini menambahkan, banyak sebab mengapa perusahaan Indonesia kalah bersaing dengan perusahaan Taiwan sekalipun sebagai negara kecil. Ada beberapa alasan yang patut direnungkan: (i) rendahnya alokasi pembiayaan penelitian dan pengembangan; (ii) rendahnya alokasi biaya pendidikan; (iii) tidak jelasnya road map pengembangan industri; dan (iv) tidak adanya insentif untuk kegiatan inovasi. Sudah saatnya dipertimbangkan pemberian tax incentive bagi perusahaan yang menyisihkan dananya untuk membangun laboratorium di perguruan tinggi ternama seperti halnya di negara maju. “Sehingga ada semacam kolaborasi antara dunia usaha dengan pendidikan tinggi. Buang jauh kekhawatiran bahwa tax incentive tersebut akan disalah gunakan untuk menghindari pajak. Buat road map yang jelas dan janganlah setiap ganti menteri lalu ganti prioritas tanpa ada kesinambungan”, kata pak Agus. (Humas UGM)