YOGYAKARTA – Stroke, cedera otak traumatis, kecelakaan bisa menjadi faktor penyebab berkurangnya kemampuan gerak tangan dan kaki ini atau biasa disebut paresis. Paresis terbesar sering terjadi pada anggota gerak bagian atas (upper limb) yang mencapai 77,4%. Pemulihan paresis ini dapat dilakukan dengan pengobatan fisioterapi. Meski bisa memberikan hasil yang optimal, masalah rehabilitasi paresis ini belum sepenuhnya teratasi karena jumlah dokter dan tenaga fisioterapis yang terbatas. Menurut data Ikatan Fisioterapi Indonesia, hingga tahun 2013, tercatat hanya ada 3012 fisioterapis di Indonesia yang berstatus aktif. Tentu jumlah tersebut tidak mencukupi mengingat jumlah penderita paresis dan strok yang bertambah tiap tahunnya.
Hal itulah yang mendorong mahasiswa Universitas Gadjah Mada menciptakan sebuah robot tangan fisioterapis sebagai bentuk kepedulian mereka pada penderita paresis atau memiliki keterbatasan dalam menggerakan tangan sebagai organ gerak bagian atas. Mereka adalah M Andri Firdaus dan (Teknik Mesin), Ahmad Khinarto (Teknik Elektro), Irkham Maulana (Teknik Mesin), Avina Alawya (Pendidikan Dokter) dan Doni Achsan (Teknik Industri) yang tergabung dalam tim ARPIRO (Arm Physiotherapy Robot).
Robot yang mereka bikin membantu pasien melakukan gerakan mekanis sederhana seperti mengayunkan pergelangan tangan, dan menggerak-gerakan tangan secara berulang. Menurut Andri Firdaus, selaku ketua tim, mengungkapkan gerakan-gerakan mekanis sederhana pada fisioterapi khusus pada tangan. Dia menerangkan, karya yang mereka namakan robot Arpiro ini memiliki tiga buah motor sebagai penggerak untuk melaksanakan tiga gerakan utama dalam fisioterapi tangan. “Desain dibuat dengan ukuran seminimal mungkin,” kata Andri saat ditemui di Kampus UGM, Selasa (9/6).
Meski pengerjaan robot Arpiro telah sampai dalam tahap pembuatan software, rencananya Arpiro akan dilengkapi dengan fitur rekam medis terintegrasi dengan smart device sehingga harapannya dengan fitur dan bentuknya yang portable tersebut menjadi solusi home therapy para penderita pasien paresis. Diakui Avin, salah satu anggota tim yang lain, pembuatan software yang menghubungkan ke smart device ini memang tergolong sulit. “Kami berusaha semaksimal mungkin agar benar-benar terealisasikan sehingga penderita bisa tetap terapi dekat dengan keluarga,” ungkapnya.
Dr. Eng Herianto selaku dosen pembimbing mengatakan karya inovatif yang dihasilkan mahasiswa ini menunjukkan kepedulian mereka untuk memberikan solusi berbagai masalah yang ada di sekitar merejka. “Karya semacam ini sudah selaykanya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.” Katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)