Secara umum, respon emosi musikal merupakan bagian dari emosi estetis yang belum banyak diteliti dalam bidang psikologi. Respon yang diakibatkan oleh stimuli elemen musikan berupa tempo dan timbre hanya sebagian dari penelitian terhadap efek elemen musik lainnya. Walaupun hanya dua elemen musical yang digunakan dalam penelitian ini, namun reaksi berupa respon emosi yang ditimbulkannya menunjukkan perbedaan signifikan antara subjek pendengar yang terdiri dari kelompok pengrawit (musisi) dan pandhemen (non musisi).
Hal tersebut dikemukakan Drs. Djohan, M.Si dalam disertasi berjudul “Pengaruh Stimulasi Elemen Tempo Dan Timbre Dalam Gamelan Jawa Terhadap Respon Emosi Musikal†saat menempuh Ujian Terbuka Program Doktor dalam bidang Ilmu Psikologi pada hari Kamis, 27 Oktober 2005 di Ruang Seminar Pascasarjana UGM.
Dosen Fakultas Seni dan Pertunjukan ISI Yogyakarta ini menjelaskan betapa pentingnya elemen tempo sebagai stimulator respon emosi musikal. Dapat dikatakan bahwa elemen tempo adalah esensi dari musik yang diungkapkan secara kualitatif oleh subjek dengan istilah: nyawa, roh. “Sementara hasil secara statistik menunjukkan bahwa tidak semua respon emosi yang ditunjukkan subjek berupa reaksi atas rasa tidak menyenangkan. Hal ini dapat dimengerti karena stimulasi musik gamelan yang diperdengarkan kepada subjek terdiri dari empat variasiâ€, ujar pak Djohan.
Hanya pendengar yang terlatihlah, kata pak Djohan, yang dapat dengan segera membedakan timbre yang baik dan kurang baik, dalam hal ini respon kurang menyenangkan diberikan oleh sebagian besar subjek pengrawit. “Namun hasil respon emosi musikal dari pengrawit tidak semua menunjukkan respon yang positif. Faktor budaya dikatakan penting karena musik yang diperdengarkan adalah musik dari latar belakang budaya pendengar sehingga tidak memungkinkan terjadinya bias lintas budaya. Karena musik dari budaya yang berbeda juga memiliki interpretasi yang berbeda walau elemen tempo dan timbre adalah dua dari empat elemen musikal yang universal. Maka faktor budaya dalam hal ini menjadi dominan karena terkait dengan persepsi dan respon yang ditimbulkannyaâ€, ujar promovendus kelahiran Palembang, 17 Desember 1961.
Promovendus juga menerangkan, bahwa di Indonesia , kajian psikologi musik masih menjadi disiplin baru sehingga harapan ke depan bahwa penelitian lanjutan yang sejenis dapat memberi sumbangan pada aplikasi terapiutik. â€Karena dari hasil diskusi secara kualitatif yang dilakukan baik pada saat observasi awal maupun setelah eksperimen selesai dilakukan, diperoleh informasi bahwa menikmati musik gamelan bagi orang Jawa secara implisit dapat diidentikkan dengan makna terapi yang terungkap dalam terminology: jampi stressâ€, jelas suami Bernadetta Kusumastuti, SET dan ayah Rhei Duranjaya Djohan ini. (Humas UGM).