
YOGYAKARTA –Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla diharapkan betul-betul bisa melaksanakan ajaran trisakti dalam setiap kebijakannya. Tidak hanya memenuhi janji kampanye, konsep trisakti dianggap masih sangat relevan diterapkan pemerintahan saat ini. “Trisakti dari gagsan Bung Karno itu sangat relevan hingga saat ini,” kata Dekan Filsafat UGM Dr. Mukthasar Syamsudin dalam Seminar Internasional Filsafat Trisakti dan Saemul Undong: Revolusi Mental Pembangunan Indonesia dan Korea, yang berlangsung di Balai Senat Universitas Gadjah Mada, Senin (15/6).
Seperti diketahui, ajaran trisakti merupakan gagasan Presiden Soekarno yang disampaikan pada 17 Agustus 1964 terdiri dari: berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dari tinjauan ilmu filsafat, kata Mukhtasar, maksud dari berdaulat dalam politik adalah negara menolak segala bentuk intervensi dari negara asing terhadap kebijakan politik di Indonesia. Selain itu, negara juga diharuskan membangun semangat nasionalisme rakyatnya dalam mendukung segala kebijakan politik demi kemajuan bangsa.
Mandiri dalam hal ekonomi, kata Muktasar dimaksudkan bahwa kekayaan sumber daya alam baik di laut dan di darat seharusnya dapat dikelola dengan baik oleh negara untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. “Bagaimanapun sumber daya alam dikelola untuk meningkatkan kebangkitan ekonomi rakyat agar bisa berdikari dan tidak tegantung dari ekonomi dari negara dan bantuan lembaga asing,” katanya.
Selanjutnya berkepribadian dalam kebudayaan, tambah Mukhtasar, bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai kepribdaian dan budaya yang luhur dengan ragam budaya, suku, agama dan golongan sebagai konsekuensi Indonesia negara kepulauan. “Hidup harmoni antarsegala etnisitas dan kedaerahan itu bisa menyatu karena Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa,” katanya.
Dalam kesempatan itu ia juga sempat menyinggung program gerakan revolusi mental yang dijalankan oleh pemerintah Jokowi. Menurut hemat Muktahsar, gerakan itu seharusnya diarahkan untuk memberantas korupsi. “Korupsi itu bukan mental dan kepribadian bangsa kita, mental korupsi ini yang harusnya segera direvolusi,” katanya.
Sementara Park Hee Young dari Jurusan Filsafat Hankok University Korea mengatakan gerakan reformasi mental di Korea sudah di mulai sejak tahun 1960 dengan adanya konsep Saemul Undong atau gerakan membangun bangsa dari desa. Bahkan konsep tersebut dimasukkan dalam konsep pendidikan nasional. “Gerakan reformasi mental mampu mengubah mentalitas orang Korea, dari sebelumnya pesimis, berpikir negatif, irasional lalu menjadi optimis dan rasional positif melalui pendidikan,” katanya.
Sejarawan UGM, Nur Aini Setiawati, Ph.D., mengatakan ‘saemul undong’ di Korea Selatan dan konsep ‘gotong royong’ dalam pembangunan pedesaan di Indonesia telah menunjukkan pendekatan pembangunan yang berhasil meningkatkan taraf hidup masyrakat di daerah pedesaan, meskipun pembangunan pedesaan di Indonesia tidak semaju seperti di korea selatan.“Pengalaman pembangunan pedesaan Indonesia dan Korea selama lima puluh tahun terakhir sebenarnya sangat relevan diterapkan di negara-negara berkembang lainnya,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)