Saat ini masyarakat sedang menghadapi situasi sulit. Kenaikan BBM dan kenaikan tunjangan wakil rakyat hanya sebagian kecil dari stressor yang bisa menyebabkan stress. Stresor tersebut tersebut berpotensi menimbulkan gangguan jiwa. Bicara soal penyebab stress (stressor) tidak terbatas pada stressor buatan manusia saja tetapi juga stressor alamiah. Tentunya kesedihan kita belum pupus akibat bencana Tsunami yang memporak-porandakan tanah Rencong. Konflik antar suku, ancaman terorisme mengusik ketenangan rakyat. Kesedihan itu masih terasa dan semakin terasa ditengah himpitan ekonomi dan melihat ketimpangan kenaikan tunjangan anggota dewan sebesar sepuluh juta per bulan. Perasaan sedih, marah, dan cemburu bercampur aduk menjadi satu tanpa harus tahun kapan akan berakhir. Hal tersebut diungkapkan Prof. Dr. dr. H. Soewadi, MPH, Sp. KJ (K) dalam releasenya Kamis, 27 Oktober 2005.
Menurut Kepala Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UGM tersebut, inilah kenyataan yang sedang kita hadapi. Lalu apakah kita akan terus membiarkan diri kita tenggelam dalam situasi stres atau segera bangkit mengatasi stress. Pada dasarnya mengatasi stress adalah dengan cara mengatasi sumber konflik penyebab stress, tetapi kalau hal itu tidak memungkinkan tentunya cara pandang kita terhadap persoalan tersebut yang harus diubah. Hal ini tergantung dari berbagai faktor. “Selain kematangan kepribadian, nilai-nilai religius menjadi kekuatan yang besar agar kita mampu beradaptasi dengan stresor. Karena kalau tidak demikian, kita akan benar-benar jatuh dalam kondisi gangguan jiwaâ€, kata Prof. Soewadi.
Ketua SMF Jiwa Dr. Sardjito Yogyakarta juga menuturkan, bahwa manifestasi dari gangguan jiwa akibat stress berupa cemas, depresi, PTSD sampai psikotik (baca “gilaâ€). Pada umumnya dengan berjalannya waktu seseorang dapat beradaptasi dengan stressor. Tetapi sebagian lainnya tidak mampu bahkan menjadi sakit. Hal ini tergantung tawar-manawar pada diri kita. Karena itu secara spesifik stress dapat dikategorikan menjadi stress baik (eustres) dan stres buruk (distress). Disebut.stres baik apabila stress tersebut bias dimodifikasi menjadi suatu dorongan positif untuk melakukan perubahan kea rah yang lebih baik, dan disebut stres buruk apabila dengan adanya stressor justru menjadikan seseorang lelemah mentalnya, tidak bisa beradaptasi dan pada akhirnya jatuh sakit. “Untuk memodifikasi stress agar menjadi suatu kekuatan, intinya adalah berpikir positip. Berpikir positip yaitu mempersepsikan setiap kejadian dengan melihat hikmah dan manfaat dibalik suatu peristiwaâ€, tambah Prof. Soewadi. (Humas UGM)