Hasan Basri, 18 tahun, tergopoh-gopoh pulang ke rumah menemui ibunya seraya membawa selembar kertas. Anak bungsu dari dua bersaudara ini menujukkan selembar kertas yang baru saja ia print dari warnet. Kertas itu berisi informasi bahwa ia diterima kuliah di Jurusan Sastra Arab Universitas Gadjah Mada. Sariyah, 47 tahun, langsung memeluk anaknya dengan rasa haru dan bangga. Mata Sariah pun langsung berkaca-kaca. “Saya ikut senang dan bangga, keinginannya tercapai, ” kata Sariyah mengenang peristiwa satu bulan lalu saat tahu anaknya diterima kuliah di UGM.
Sariyah mengatakan anak bungsunya itu sebelumnya sudah memberitahunya ketika akan mendaftar SNMPTN memilih kuliah di UGM. Sebagai seorang ibu, Sariyah mendukung keinginan dan cita-cita sang anak. “Bu saya pingin kuliah di ugm. Saya jawab, kalo kamu dah manteb saya cuma bisa mendorong dan berdoa saja. Saya siap tapi nggak tahu kelanjutannya,” tuturnya.
Saat ditemui di rumahnya yang beralamat di kampung Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Rabu (24/6), Sariyah sehari-hari bekerja sebagai penjual es campur di depan rumah. Sementara suaminya, Siwit Budiono, 49 tahun bekerja sebagai tukang parkir. Menurut Sariyah penghasilan ia dan suaminya tidaklah seberapa. Dari berjualan es, ia hanya bisa menyisihkan uang sebesar Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu setiap harinya. Ia sudah berjualan es campur sejak 24 tahun lalu. Sementara dari sang suami, rata-rata membawa pulang uang Rp 30 ribu. Meski begitu, keduanya tetap berusaha keras membiayai kedua anaknya agar bisa ke jenjang perguruan tinggi. Salah satu anak tertuanya, Rusli Hasim, setahun yang lalu sudah lulus sarjana.
Keluarga kecil ini menempati rumah berukuran 4×12 meter persegi yang menurut pengakuan Sariyah rumah mungil itu hasil warisan dari orang tua sebelah suaminya. Meski rumah mereka nampak sederhana, namun kepada anak-anaknya Sariyah menerapkan sikap hidup sederhana. “Kalo saya dan suaminya, pokoknya rumah nggak perlu, yang penting anak-anak sekolah dulu,” tuturnya.
Meski hanya berjualan es campur dan mengandalkan pendapatan dari tukang parkir, sariyah mengaku bangga bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai. Meski di sekolah, kedua anak-anaknya tidak pernah mendapatkan beasiswa namun uang dari hasil penghasilan mereka ternyata bisa membiayai sekolah kedua anak laki-lakinya. “Setiap hari saya kasih Rp 5 ribu untuk ke sekolah, kakaknya pernah protes kok uang sakunya sama dengan adiknya. Saya bilang, semua harus disyukuri, untung masih ada uang,” katanya.
Lulusan Madrasah Aliyah
Sastra Arab merupakan jurusan yang favorit yang dipilih Hasan Basri untuk kuliah di UGM. Ia mengaku memilih jurusan tersebut karena terinpsirasi oleh salah seorang guru ngaji di masjid dekat rumahnya yang kebetulan kuliah di jurusan yang sama. “Kebetulan yang ngajar kuliah di UGM, sehingga memotivasi saya,” ujarnya.
Pria kelahiran 4 maret 1997 ini menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Muhammadiyah Demangan, pendidikan menengah pertama diselesaikan di SMPN 6 Yogyakarta dan pendidikan menengah atas di MAN 1 Yogyakarta. Saat masih sekolah di MA, kata Hasan, ia hanya diberi uang saku Rp 5 ribu dari ibunya. Beruntung jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun untuk kebutuhan lain, Hasan mengaku dirinya tidak pernah menuntut banyak ke orang tuanya. Hasan bercerita ia tidak pernah mengikuti kursus atau bimbingan belajar selama sekolah. Meski keinginan untuk ikut bimbingan belajar sangatlah kuat. Ia pun tidak kehilangan akal, bersama dengan sahabatnya, ia rajin mencari informasi terkait dengan program bimbingan belajar gratis satu atau dua hari di beberapa lembaga bimbingan belajar ternama. “Itu pun hanya satu hari,” kata Hasan yang pernah juara 2 pidato tingkat propinsi DIY yang diadakan oleh Kanwil Kementerian Agama DIY tahun 2014 lalu.
Dari sisi prestasi akademik, Hasan Basri menceritakan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Yogyakarta ia selalu dapat rangking lima besar di kelas. Namun begitu, kemampuan bahasa arabnya tidaklah menonjol. Bahkan Hasan mengaku ia sempat kewalahan berkompetisi dengan teman-temannya yang kebetulan rata-rata jebolan pondok pesantren. Keinginannya memilih kuliah sastra arab di UGM, Hasan berharap bisa mengantar dirinya meraih cita-citanya kelak menjadi dosen. (Humas UGM/Gusti Grehenson)