Wagiman (65) tidak kuasa menahan kegembiraanya tatkala putera bungsunya, Sudarmono, memberi kabar diterima kuliah di Universitas Gadjah Mada. Ucapan syukur berkali-kali keluar dari mulutnya mengetahui berita gembira itu. Sekalipun tidak pernah terlintas dalam pikirannya sang anak bisa melanjutkan kuliah di tengah kondisi keluarga yang serba kekurangan. Ya, puteranya berhasil diterima kuliah di program studi Ilmu dan Industri Peternakan. “Saya baru tahu kalau Sudarmono ikut daftar seleksi masuk UGM saat dia mau berangkat tes minta doa restu. Lalu dikabari lagi kalau diterima saya kaget sekaligus bersyukur,” katanya.
Sehari-hari ia bekerja sebagai penarik becak di sekitaran Pakualaman, Yogyakarta. Sedangkan isterinya, Mursiyem (55), membantu menopang ekonomi keluarga dengan bekerja menjadi buruh tani dan membuat benang untuk bahan kain kasa. Dari hasil menarik becak biasanya Wagiman hanya memperoleh uang sebesar Rp. 20.000,- hingga Rp. 30.000,- per hari. Setiap seminggu sekali ia baru bisa pulang menemui anak isterinya yang tinggal di Mranggen, Bayat, Klaten. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang dibangun dari bantuan dana pemerintah akibat tempat tinggal sebelumnya rata dengan tanah akibat gempa 2006 silam.
Sementara saat di Jogja Wagiman menumpang tidur di Masjid Margoyasan yang berada di sekitar LP Wirogunan. Sejak awal menarik becak di tahun 1992 ia aktif membantu mengurus masjid sehingga dipercaya menjadi takmir dan diberikan sebuah ruang kecil untuknya melepas penat di malam hari. Namun dikala Ramadhan ini, ia rehat dari aktivitas menarik becak dan pulang ke kampung menjadi buruh tani. Setelah lebaran baru aktif kembali menekuni pekerjaannya itu. “Saya selalu mendukung apa yang menjadi keinginan thole (red-panggilan anak lelaki di Jawa). Kami akan upayakan, bagaimana caranya agar bisa kuliah,” tuturnya sembari mengungkapkan saat ini juga telah berhasil melunasi cicilan pembelian becaknya. Dulu, setiap harinya ia harus menyetor Rp.1000,- untuk membayar kreditan becaknya.
Sudarmono mengaku telah berkeinginan bisa kuliah sejak di bangku SD. Namun ia tidak pernah memaksakan keinginannya itu ke kedua orang tuanya. Ia sangat maklum dengan keadaan keluarganya yang cukup pas-pasan. Ayahnya harus bekerja membanting tulang untuk menghidupi lima anaknya. Keempat kakaknya pun hanya bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat SMA dan langsung memutuskan bekerja untuk meringankan beban keluarga.
Walaupun berada dalam kondisi yang serba terbatas, hal itu justru semakin mendorong pria kelahiran Klaten, 24 agustus 1997 ini untuk lebih bersemangat dalam belajar mewujudkan mimpinya. Ia tidak pernah merasa malu bermimpi besar menjadi seorang pengusaha. Perjuangan, kerja keras, dan usahanya dalam belajar membuahkan hasil manis. Sejak SD hingga SMP ia selalu masuk dalam rangking lima besar. Selanjutnya di SMA juara pertama tidak pernah lepas dari genggamannya selama tiga tahun terakhir. Sederat prestasi akademiknya itu menjadi pembuktian bahwa kemiskinan tidak menjadi penghalang baginya untuk terus berpretasi.“Waktu kelas I sempat ikut OSN Fisika dan kelas II ikut OSN Kimia di tingkat kabupaten,” tutur alumnus SMA 1 Bayat, Klaten ini.
Tidak hanya berprestasi secara akademik, Sudarmono juga aktif dalam sejumlah kegiatan di sekolahnya. Demikian halnya di kampung halamnya mengikuti sejumlah kegiatan kepemudaan. Meskipun memiliki seabrek ativitas di sekolahnya, Sudarmono tetap menyempatkan diri untuk membantu ibunya menggembala kambing piaraan mereka. “Sering bantu angon kambing di sawah. Hal ini juga yang mendasari keputusan saya untuk ambil kuliah di Fakultas Peternakan karena memang sejak kecil sudah sangat dekat dengan dunia peternakan, ingin jadi pengusaha bidang peternakan,” ujarnya.
Persaan gembira turut dirasakan Mursiyem (50). Ia tidak menyangka keinginan anaknya untuk kuliah bisa tercapai. Sementara kekhawatiran tidak bisa membayar biaya kuliah hingga selesai masih membayang di pelupuk matanya. “Anak pingin sekali kuliah, tapi bagaimana kondisinya saja seperti ini. Bersyukur sekali akhirnya bisa dapat beasiswa kuliah gratis,” katanya sembari terisak menahan haru.
Ia pun berdoa agar kelak anaknya bisa lancar dalam menjalankan studi. Lebih dari itu bisa bernasib lebih baik dari kedua orang tua serta menjadi orang sukses dan mampu mengangkat derajat keluarga. (Humas UGM/Ika)