Krisis moneter 1997 yang menghantam Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand dan Korea Selatan, merupakan fenomena ekonomi politik yang sangat langka dan dramatis di penghujung akhir millennium kedua. Setidaknya terdapat 2 (dua) model pilihan terhadap penyelesaian krisis saat itu, yakni (1) dengan melibatkan peran IMF sebagai lembaga keuangan global dengan paket restrukturisasi yang kata banyak orang sangat kapitalistik, dan (2) anti pelibatan IMF, dengan mengedepankan nasionalisme ekonomi. Indonesia kemudian memilih (dengan ragu-ragu) keterlibatan IMF, yang ditentang keras sejumlah LSM, bahkan sejumlah menteri, dan sampai kini pilihan itu belum menunjukkan keberhasilan penuh untuk keluar dari krisis. “Malaysia dengan tegas menolak IMF, dan hasilnya lumayan, walaupun belum seluruhnya selesai tetapi berhasil meningkatkan GNP per kapita mereka. Sedangkan Korea selatan dengan tegas mengundang keterlibatan IMF, bahkan dengan sejumlah bantuan yang terbesar yang pernah dilakukan IMF kepada peminjam tunggal, yakni sebesar AS $56 Milyar, dan ternyata Korea Selatan berhasil melunasi seluruh hutangnya, bahkan tiga tahun lebih cepat dari yang direncanakanâ€, urai Drs. Tulus Warsito saat ujian doktor hari Senin (14/11) di ruang Seminar Pascasarjana UGM.
Kata Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini, fenomena penyelesaian krisis ala Korsel sangat mengejutkan, karena selain sebagai kasus ekonomi politik di sisi lain juga mengindikasikan terjadinya percepatan proses demokratisasi, terutama dalam hubungan industrial. “Pemerintah, kalangan bisnis dan kelompok buruh yang semula selalu bertikai pada era sebelum krisis, seolah tiba-tiba sedemikian cepat menyepakati sejumlah konsensus, rela duduk bersama dalam Komisi Tripartit dan menghasilkan penyelesaian krisis yang luar biasa. Kemudian yang menarik untuk dipertanyakan: Mengapa Krisis 1997 justru mempercepat proses demokratisasi hubungan industrial di Korea Selatan?â€, ujar Tulus.
Dalam desertasi berjudul “Demokratisasi Pasca Krisis 1997 di Korea Selatan (Studi Hubungan Industrial)â€, iapun menyimpulkan bahwa pihak-pihak dalam hubungan industrial Korea Selatan beranggapan Krisis 1997 sebagai fakta politis, sebagai kenyataan ekonomi politik, sebagai musuh bersama, yang mempersempit pilihan-pilihan politik mereka sering bertikai karena pokok kepentingan mereka memang berbeda, maka dengan munculnya krisis 1997 pilihan mereka menjadi terbatas. Mereka meyakini bahwa pilihannya adalah maju bersama menanggulangi krisis atau hancur bersama. Rasionalitas semacam itulah yang menumbuhkan percepatan proses demokratisasi diantara mereka.
“Memang keberhasilan itu bukanlah semata-mata karena krisis, melainkan juga karena beberapa faktor fundamental lainnya yang telah tumbuh dalam masyarakat Korea Selatan. Salah satu faktor pendukung yang pantas dicatat adalah bahwa tingkat pendidikan masyarakat Korea Selatan relative tinggi. Begitu juga tingkat GNP perkapita mereka pada waktu krisis sudah mencapai AS $8000. Sehingga tingkat pendidikan dan kekayaan semacam itu dapat mendorong industru Korea Selatan kearah consensus yang konstruktif dan positif, bukan destruktif ataupun kontraproduktifâ€, tegas Tulus Warsito, yang memperoleh predikat cumlaude pada ujian promosi doktor kali ini (Humas UGM).