Di Yogyakarta, permasalahan transportasi lebih disebabkan masih bercampurnya lalu lintas (mix traffic) kendaraan bermotor, Kendaraan Tidak Bermotor (KTB) dan pejalan kaki. Rendahnya tingkat pelayanan (level of service) angkutan publik menyebabkan masyarakat beralih ke kendaraan pribadi mobil atau sepeda motor. Tingginya laju penjualan kendaraan bermotor di Yogyakarta menyebabkan overloadnya beberapa ruas jalan. Akhirnya, masyarakat berpenghasilan rendah dipaksa membayar ongkos kesehatan yang mahal akibat asap knalpot kendaraan bermotor.
Cholis Annurrohman, Officer Manager Institute for Transportation Studies (INSTRAN) menyampaikan hal tersebut diatas saat diskusi terbatas “Inisiatif Masyarakat Dalam Membangun Kota Nyaman Huni” hari Kamis (17/11/05) yang diselenggarakan oleh Majalah Balairung UGM.
Kata Cholis, kasus-kasus seperti ini pernah dialami negara-negara maju pada dekade 70-an. Bahkan di kota Basle Swiss, dan beberapa kota di Amerika serta Eropa kala itu, kemacetan lalu lintas berdampak pada eksodus warga kota secara besar-besaran. Tidak hanya warga kota yang berpenghasilan rendah, tapi masyarakat berpenghasilan tinggi yang nota bene para pemilik toko, perusahaan meninggalkan kota dan memilih tinggal di pinggiran.
“Kondisi kota-kota tersebut kini telah keluar dari krisis kesemrawutan lalu lintas dan tampak lebih berwibawa. Jika ditarik benang merah tampaknya siapa yang diundang ke kota menjadi kata kunci. Kalau yang mau diundang orang maka kota dibangun fasilitas pejalan kaki. Jika yang diundang KTB maka dibangun jalur khusus KTB. Dan untuk penghubung kota maka dibangun angkutan public yang lebih representative. Pengembangan angkutan publik itu juga salah satu upaya mengeliminasi pengguna kendaraan bermotor mobil dan sepeda motor”, ujar Cholis dalam makalahnya yang berjudul “Road Pricing Malioboro: Cocok Untuk Kendaraan Mobil”.
Menurut Cholis, di Yogyakarta studi dan upaya keluar dari krisis kesewrawutan lalu lintas sudah banyak dilakukan. Pengutamaan pejalan kaki di Malioboro sudah digagas sejak decade 80-an. Pengoptimalisasian KTB melalui pembangunan jalur khusus KTB pernah dilakukan pula. Begitupun dengan pengutamaan angkutan publik (bus priority) yang baru-baru ini diusulkan. Kenaikan BBM merupakan momentum untuk mengembangkan ketiga usulan penanganan transportasi di Yogyakarta. Oleh karena itu inisiatif, partisipasi dan dukungan publik untuk mendorong pemerintah daerah dalam membangun filterisasi globalisasi transportasi merupakan langkah strategis.
“Saya kira, kutipan kemacetan (road pricing) lalu lintas yang diberlakukan pada pengendara mobil yang nota bene kelas menengah keatas sangat realistis dilakukan di pusat kota seperti Malioboro. Hal ini berangkat dari pemikiran keadilan pengguna ruang. Semakin besar kendaraan mobil memakan ruang dengan luas ruang yang terbatas, maka kutipan yang dilakukan pada pengendara mobil pribadi menjadi logis. Dan mungkin kutipan itu tidak seberapa jika dibandingkan dampak polusi yang dihasilkan oleh pengendara mobil pribadi. Tampaknya masyarakat akan mendukungnya manakala kutipan itu hanya diberlakukan pada mobil pribadi. Sedangkan pengemudi sepeda motor, becak, andong, bus kota, taksi dan masyarakat setempat tetap diberi akses keluar masuk secara gratis. Dengan demikian maka pengutamaan KTB, pejalan kaki dan angkutan publik di Malioboro dapat dioptimalkan”, saran Cholis diakhir makalahnya.