YOGYAKARTA – Sebanyak 60 dokter hewan yang bekerja di pusat rehabilitasi dan konservasi orangutan dari dalam dan luar negeri mengikuti pertemuan Orangutan Veterinary Advisory Group (OVAG) di Fakultas Kedokteran UGM, Selasa (4/8). Pertemuan yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 6 Agustus ini diiikuti oleh dokter hewan dari berbagai negara seperti dari Inggris, Republik Ceko, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan Malaysia. “Pertemuan para dokter hewan yang bekerja di konservasi orangutan ini setiap tahun melakukan pertemuan rutin di UGM,” kata Dr. drh. Wisnu Nurcahyo selaku penggagas acara saat ditemui di FKH UGM.
Dosen parasitologi FKH UGM ini mengatakan pada pertemuan kali ini diikuti 40 dokter hewan yang bekerja di pusat rehabilitasi orangutan yang ada di Sumatera dan Kalimantan, sementara sisanya sebanyak 20 orang dokter hewan asing. Pada pertemuan tersebut juga dibahas persoalan dan perkembangan kegiatan konservasi dan rehabilitasi orangutan serta berbagai penanggulangan medik orangutan.
Wisnu mengatakan pada pertemuan tersebut mengemuka berbagai persoalan yang ditemui padar dokter hewan di lapangan salah satunya penyakit yang kini banyak diderita orangutan yang menyebabkan risiko kematian diantaranya penyakit parasit seperti malaria, protozoa Balantidium coli, filariasis, scabies, dan strongilodiasis. Dari beberapa penyakit tersebut, kata Wisnu, penyakit malaria yang dahulunya tidak pernah ditemui pada Orangutan sekarang kasusnya jadi lebih banyak. Adapun Balantidium coli adalah sejenis protozoa mematikan pada orangutan yang bisa menular pada manusia melalui kotoran orang utan. “Sekitar 60-70 persen penyakit yang diderita orangutan berasal dari parasit,” kata peneliti parasitologi hewan ini.
Fakultas Kedokteran Hewan UGM dalam pertemuan OVAG kali ini, kata Wisnu memfasilitasi pemberian pelatihan dalam upaya rehabilitasi orangutan seperti materi metode rehabilitasi, diagnosa penyakit, model pelepasan orang hutan, monitoring perkembangbiakan dan pakan.
Drh. Citra kasih, salah satu anggota pusat rehabilitasi orangutan dari Yayasan Jejak Pulang yang berada di Kalimantan Timur ini mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi pusat rehabilitasi orangutan adalah makin menurunnya lokasi habitat orangutan. Orangutan yang diselamatkan lewat pusat rehabilitasi umumnya mengalami hambatan untuk mencari lokasi habitat orangutan saat akan dilepas. Pasalnya lokasi habitat yang lama mengalami kerusakan akibat laju kerusakan hutan akibat pembukaan lahan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan kerusakan hutan akibat kebakaran. “Banyak orangutan yang sudah layak lepas akhirnya bertahan di pusat rehabilitasi,” katanya.
Menurutnya, laju kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah dalam mempertahankan wilayah habitat yang sesuai dan layak bagi orangutan. “Perlu regulasi yang kuat dan mendukung supaya habitat orangutan tidak terus mengalami penurunan,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)