
Berbagai permasalahan eksploitasi sumber daya alam hutan di Indonesia berjalan begitu cepat dan tidak terkendali. Eksploitasi sumber daya alam hutan yang berlebihan mengakibatkan deforestasi. Selama kurun waktu 2000 – 2009 telah terjadi deforestasi sebesar 15,16 juta ha atau dengan laju sekitar 1,5 juta ha pertahun.
Dalam catatan, Kalimantan sebagai penyumbang deforestasi terbesar seluas 5,5 juta ha atau sekitar 36,32 persen dari total deforestasi di Indonesia. Deforestasi terbesar terjadi pada kawasan hutan konservasi seluas 4,34 juta ha yang memang sudah dicadangkan untuk alih fungsi lahan. Sementara pada kawasan hutan lindung dan konservasi juga terjadi deforestasi dalam jumlah besar mencapai 3,28 juta ha.
Akibat deforestasi, menurut Prof. Dr. Ir. Suryo Hardiwinoto, M.Sc, upaya rehabilitasi dan penanaman pohon terus dilakukan. Meski begitu, lahan yang masuk kategori kritis tetap saja tinggi. Berdasarkan data statistik jumlah lahan kritis pada tahun 2011 mencapai 27.294.842 ha yang tersebar di seluruh provinsi.
“Lahan kritis telah menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Cakupan daerah yang terkena pun mulai dari tingkat lokal, regional, nasional hingga tingkat global”, katanya di Balai Senat, Selasa (11/8) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM.
Untuk itu, katanya, upaya rehabilitasi dan peningkatan produktivitas lahan menjadi penting dan seharusnya dilakukan. Silvikultur pun dalam hal ini berperan dalam memberikan arahan rancangan pembangunan dan pemeliharaan tegakan hutan melalui pengaturan komposisi, struktur dan pertumbuhan.
“Dalam rehabilitasi lahan, secara garis besar silvikultur mengarahkan pada rancangan kompisisi dan struktur tegakan dalam bentuk hutan tanaman industri, agroforestri dan konservasi”, ungkap Suryo.
Dalam pidato pengukuhan berjudul “Peran Silvikultur dalam Peningkatan Produktivitas Hutan dan Rehabilitasi Lahan”, suami Rufiana Perbatasari, ayah tiga anak, ini berpendapat program peningkatan produktivitas hutan dan rehabilitasi lahan akan berhasil apabila pohon yang ditanam mampu hidup dan tumbuh dengan baik. Bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan pohon adalah faktor genetik dan lingkungan.
Menurutnya, tidak ada batas jelas apakah pertumbuhan lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau lingkungan, karena keduanya saling mempengaruhi. Bahwa keragaman genetik menjadi modal dasar kegiatan pemuliaan untuk meningkatkan produktivitas hutan tanaman melalui penyediaan bibit unggul.
Faktor genetik dapat diperbaiki melalui seleksi dan pemuliaan, sedangkan faktor lingkungan dapat ditingkatkan melalui tindakan silvikultur. Untuk itu, penanaman dan pengembangan berbagai jenis pohon untuk peningkatan produktivitas hutan dan rehabilitasi lahan seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip silvikultur dan tahapan uji”, tutur Pengelola Program Doktor (S3) Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM.
Suryo menandaskan, silvikultur di masa depan mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tegakan hutan tanaman yang produktif, efisien, kompetitif, sehat dan lestari. Bahwa komposisi dan struktur tegakan tersebut dapat berupa hutan alam, hutan tanaman industri, agroforestri dan konservasi.
Ditinjau dari aspek ekonomi maupun ekologi, silvikultur akan memiliki peran penting dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya alam hutan secara berkelanjutan. Sehingga hutan tidak lagi hanya menghasilkan produk kayu dan non-kayu, melainkan menghasilkan pangan, pakan, obat-obatan dan energi terbarukan.
“Hutan pun pada akhirnya berfungsi secara optimal sebagai penyeimbang sistem tata air. Selain itu, iapun berfungsi untuk penyerapan karbon dioksida dan kebersihan udara, pengawetan keanekaragaman hayati, ekowisata dan jasa-jasa lingkungan lainnya”, tandas dosen teladan I Fakultas Kehutanan UGM tahun 1997. (Humas UGM/ Agung)