Persoalan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan penertiban dalam tataran implementasinya bagaikan benang kusut yang tidak ada ujungnya. Selalu saja ada perlawanan, selalu saja ricuh dan bentrok. Peristiwa-peristiwa seperti ini terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia.
Berbeda dengan penataan PKL di Surakarta, mereka dengan sukarela berpindah tempat berdagang ke lokasi yang telah disiapkan oleh Pemerintah. Dengan menaiki angkutan yang disiapkan Pemerintah Kota hingga arak-arakan yang meriah, mereka dengan sukacita menuju lokasi yang baru.
“Inilah yang banyak mendapat ekspose publik karena berhasil dilakukan tanpa kekerasan. Maka wajar jika fenomena tersebut oleh sementara pihak dipahami sebagai suatu keberhasilan komunikasi pembangunan Pemkot Surakarta,” ujar Drs. Muh Fajar Pramono, M.Si saat ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (13/8).
Drs. Muh Fajar Pramono, M.Si merupakan dosen ISID/ Unida Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Didampingi promotor Prof. Dr. Syamsulhadi, S.U., M.A dan ko-promotor Prof. Dr. Mudiyono serta Prof. Dr. Ir. Sunarru Samsi Hariadi, M.S, promovendus mempertahankan disertasi berjudul “Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dalam Perspektif Komunikasi Pembangunan di Surakarta, 2005-2012”.
Muh Fajar mengatakan penertiban PKL di Surakarta merupakan fenomena menarik. Tidak saja dilihat dari sisi praktis melainkan juga dari sisi paradigmatik, baik dalam kajian pembangunan dan perkembangan kajian komunikasi pembangunan.
Dimana dalam penyelenggaraan pembangunan, menurut Muh Fajar, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal tersebut perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Bahwa komunikasi pembangunan harus mengedepankan sikap aspiratif, konsultatif, dan relationship. Karena pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara pelaku dan obyek pembangunan.
“Apalagi proses pembangunan ke depan cenderung akan mengurangi peran pemerintah, seiring dengan semakin besarnya peran masyarakat,” jelasnya.
Secara implikasi kebijakan, kata Muh Fajar, yang penting dicatat sebagai pelajaran penting dari Pemkot Surakarta dalam penataan dan pembinaan PKL bukan semata-mata menggunakan pendekatan formalitas dan kelembagaan. Namun lebih dari itu, berupa pendekatan personal dan gaya kepemimpinan solutif. Dengan kata lain, setiap program pemerintah senantiasa mendasarkan pada aspek yuridis dan prosedural.
“Pengalaman Pemkot Surakarta dalam konteks penataan dan pembinaan PKL yang sama penting adalah terkait dengan implimentasi, eksekusi, pengawalan dan menawarkan berbagai solusi yang tepat,” katanya. (Humas UGM/ Agung)