YOGYAKARTA – Tingkat kesehatan manusia di berbagai belahan dunia terus membaik, diprediksi manusia dapat hidup lebih lama. Berdasarkan hasil penelitian, jika di tahun 2010, rata-rata usia rata-rata harapan hidup penduduk dunia adalah 67 tahun, namun di tahun 2014 meningkat menjadi 71 tahun. Bahkan di DIY, rata-rata usia harapan hidup mencapai 78 hingga 80 tahun. Tingginya usia harapan hidup penduduk dunia ini dikarenakan semakin mudahnya masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan dan teknologi kesehatan yang semakin baik.
Demikian disampaikan oleh pakar kesehatan sekaligus Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UGM Prof. dr. Iwan Dwi Prahasto, M.Sc., Ph.D., dalam pidato sambutannya dalam wisuda Program Sarjana dan Diploma di Grha Sabha Pramana, Kamis (20/8).
Iwan mengatakan perkembangan teknologi kesehatan yang ada saat ini memungkinkan seseorang untuk mendiagnosa kesehatanya sendiri. Menurutnya diagnosis diri lewat sensor biochip dan sistem konsultasi pakar medik online di masa mendatang akan makin berkembang sehingga manusia akan dimudahkan mendiagnosa penyakitnya sendiri. “Penyakit dapat dideteksi dalam hitungan detik dan penetapan terapi dapat dilakukan dalam hitungan menit,” terangnya.
Tidak hanya itu, kata Iwan, teknologi terapi stem cell atau sel punca yang kini tengah dikembangkan para ilmuwan menjadikan sebagian penyakit dapat diatasi melalui jaringan tubuh manusia itu sendiri. Namun demikian, imbuhnya, tidak semua penyakit bisa diobati terutama berbagai penyakit yang bersumber dari infeksi virus dan bakteri. “Hingga saat ini belum ditemukan vaksin untuk ebola padahal angka kematian sampai 90 persen, bahkan kasus flu burung terus dilaporkan termasuk perkembangan strain H5N2,” katanya.
Dihadapan para wisudawan, Iwan menuturkan, persoalan kesehatan di masa depan harus menjadi perhatian ilmuwan untuk membuat manusia lebih sejahterah, bermartabat, sehat dan terbebas dari berbagai bencana. Ia pun mengajak para lulusan sarjana dan diploma harus terlibat aktif dalam mengatasi berbagai persoalan, tidak hanya bidang kesehatann namun juga di bidang pangan, energi dan lingkungan, “Tanpa mengatasi problematika di masa depan dengan kearifan lokal, kita bagaikan memutarkan jarum jam ke jaman jahiliah, mencipatakan perang dan kemusnahan, merusak lingkungan untuk membunuh eksosistem dan menghancurkan sumber energi dan pangan yang berarti merenggut masa depan bayi dan balita,” katanya.
Menurutnya, bangsa Indonesia membutuhkan intelektual yang bisa memberikan cermin keteladanan, kepemimpinan dan kepeloporan yang berorientasi pada tantangan di masa depan. “Intelektual harus peka melihat roda perputaran dunia, perkembangan teknologi dan perubahan perilaku manusia menyongsong masa depan lebih baik,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)