
YOGYAKARTA – Jakarta sebagai ibukota negara memerlukan solusi yang tepat untuk mengurangi persoalan ketimpangan demografi dan kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia. Pasalnya kepadatan penduduk Jakarta yang mencapai 15.015 jiwa per kilometer persegi melebihi daya dukung dimana luas wilayahnya hanya 664 km persegi atau 0,03 persen dari luas wilayah Indonesia. Dibandingkan dengan di jawa yang hanya dihuni 1100 jiwa/km2 dan kepadatan penduduk di Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua yang masih di bawah 100 jiwa/km2. Bahkan perputaran uang yang ada di Indonesiua saat ini sekitar 70 persen beredar di Jakarta.
Sosiolog UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi mengatakan mengatakasi persoalan demografi di Jakarta dan ketimpangan ekonomi antara Jakarta dengan daerah klain tidak harus dengan memindahkan ibu kota negara ke salah provinsi karena menurutnya akan menelan biaya besar. Sehubungan dengan pemidahan staf dan pembangunan gedung perkantoran baru. Namun untuk mengurangi berbagai persoalan di Jakarta, ia mengusulkan agar pemerintah pusat sebaiknya memindahkan kantor kementerian, kantor lembaga dan badan pemerintahan ke 34 ibu kota provinsi. Dengan begitu, diharapkan bisa mengurangi ketimpangan distribusi penduduk dan mengurangi kesenjangan antar daerah karena dana kegiatan yang melekat di tiap kementerian, badan dan lembaga pemerintah tersebar di ibu kota provinsi.“Cara itu bisa memecahkan kesenjangan distribusi peredaran uang dan pembangunan di daerah,” kata Tadjuddin dalam dalam seminar ‘Teramat Padat, Apakah Ibu Kota di Jakarta Perlu Dipindah?’ di ruang seminar Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, kamis (20/8).
Guru Besar Fisipol UGM mengatakan Jakarta sebagai pusat utama kegiatan ekonomi berdampak pada angka kemiskinan penduduk Jakarta relatif rendah dibandingkan dengan kota dan desa di Indonesia secara keseluruhan. Soalnya investasi PMA dan PMDN terkonsentrasi di Jakarta dan wilayah sekitarnya. “Investor memilih menanamkan modalnya di daerah yang memiliki potensi pasar dan ketersediaan tenaga kerja. Ini menyebabkan ketimpangan dalam pembangunan,” katanya.
Meski demikian, kebijakan Jakarta yang terus menerus membangun fasilitas bagi warganya dengan membangun rumah susun akan kian menarik orang untuk terus datang ke Jakarta apalagi ketersediaan lapangan pekerjaan dan Upah Minimum Regional di Jakarta dan sekitarnya yang lebih tinggi dari daerah lain. “Persoalan ketimpangan distribusi penduduk akan tidak pernah selesai,” ujarnya.
Sehubungan usulannya untuk pemindahan kantor kementerian ini, Tadjuddin yakin bisa mengurangi penduduk Jakarta sekaligus memecahkan masalah kesenjangan antar daerah serta menyebarkan kegiatan pemerintahan yang selama ini hanya terpusat di Jakarta.
Sementara Guru Besar Administrasi Publik UGM Prof Yeremias T Keban mengatakan beban demografi dan pusat ekonomi yang dipikul Jakarta sudah sangat berat karena pilihan kebijakan pembangunan selama ini telah bias ke jakarta yang telah meningkatkan peredaran uang tersebar di jakarta dan dominasi kota jakarta terhadap kota lain di tanah air.
Yeremias mengatakan ada tiga solusi lain yang bisa ditawarkan untuk membenahi persoalan Jakarta, pertama mengajak daerah lain seperti Bekasi, Bogor dan Tanggerang bekerja sama mengatasi masalah Jakarta. Kedua, menggabungkan Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi dalam satu provinsi, dan ketiga, memindahkan ibu kota negara ke provinsi lain. “Jakarta itu menyedot semua sumber kekayaan negara. Sekali ia mendominasi, ia akan terus mendominasi. Lalu yang kecipratan daerah lain di sekitarnya,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)