
Prof. Dr. Sofian Effendi mengatakan terjadi beberapa diskoneksi antara pendidikan tinggi dengan lingkungan. Adapun diskoneksi tersebut adalah ketika Perguruan Tinggi mengalami kondisi tidak sambung dengan pemberi kerja. Bahwa skill yang dihasilkan pendidikan tinggi tidak match dengan skill yang dibutuhkan pemberi kerja.
“Nampaknya hal ini belum ada tanda-tanda akan berubah sampai sekarang. Perencanaan pendidikan tinggi kita tetap berdasarkan linieritas keilmuan, bukan skill apa yang diperlukan oleh pemberi kerja”, ujar Guru Besar UGM dalam Kick Off Meeting: Seminar Nasional Kebijakan IPTEK dan Pendidikan Tinggi Indonesia Menyongsong Transformasi Masyarakat Baru, Jumat (21/8) di Balai Senat UGM.
Sofian Effendi menambahkan saat inipun terjadi ketidakseimbangan antara perguruan tinggi (PT) keilmuan dengan perguruan tinggi kejuruan. Tercatat sebanyak 87,5 persen mahasiswa terdaftar pada PT keilmuan, sementara 12,5 persen dari 6,2 juta terdaftar di PT kejuruan. Belum lagi diskonek Perguruan tinggi dengan pendidikan menengah.
Diskonek lainnya, kata Sofian, antara Perguruan Tinggi dengan perusahaan pengguna ristek. Oleh karena itu, mau tak mau Pergruan Tinggi harus melakukan penguasaan dan peningkatan mutu penelitian.
Menurut Sofian, semua itu tentu butuh anggaran besar, sementara riset yang dilakukan PT terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya saja, di bidang energi alternatif, salah satu bahan mentah untuk energi bahan mentah adalah palm oil.
Indonesia adalah produsen palm oil yang terbesar dunia dengan jumlah produksi mencapai 36 juta ton. Meski begitu harga palm oil mengalami penurunan, karena riset-riset jarang memberi perhatian pada penggunaan palm oil sebagai energi alternatif.
“Sesungguhnya kita bisa membuat palm oil sebagai biofule, yang teknologinya relatif tidak tinggi, demikian juga risetnya, sementara pasarnya jelas”, paparnya.
Masih banyak diskonek lain, misalnya antara lembaga PT dengan sesama lembaga PT. Demikian pula dengan tidak terciptanya suasana yang memperkaya multidisplin dan interdisiplin.
“Belum lagi diskonek lembaga PT dan lembaga ristek. Untuk semua itu, maka kalau mau melihat negara-negara Asia yang berhasil dalam membangun PT mendukung industri, maka hal itu terjadi pada negara-negara yang berhasil mengatasi diskoneksi ini,” terangnya.
Karena itu, Sofian Effendi menandaskan Perguruan Tinggi jangan berharap berperan besar dalam lembaga pendidikan tinggi, jika tidak berusaha mengatasi masalah-masalah diskonek ini. Indonesia masih lemah dalam beberapa hal, masih terdapat bolong-bolong dalam pengembangan kebijakan-kebijakan PT di Indonesia.
“Sebelum kita berusaha mengatasi masalah diskonek ini, jangan harapkan lembaga pendidikan tinggi Indonesia akan berperan besar dalam Lembaga pendidikan tinggi”, tandasnya.
Kegiatan Kick off Meeting: Seminar Nasional Kebijakan IPTEK dan Pendidikan Tinggi Indonesia Menyongsong Transformasi Masyarakat Baru diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) bekerjasama dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Universitas Gadjah Mada. Acara ini digelar untuk memperoleh berbagai masukan pemikiran dan mendiskusikan guna penyelenggaraan Seminar Nasional yang akan berlangsung di akhir tahun 2015. Seminar Nasional sendiri nantinya diharapkan menghasilkan Grand Design Kebijakan Iptek dan Pendidikan Tinggi di Indonesia. (Humas UGM/ Agung)