Kegiatan bisnis kian berkembang pesat dewasa ini. Kondisi ini tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa atau dispute di antara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul disebabkan berbagai alasan dan masalah yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan biasa disebut sebagai sengketa bisnis.
“Sengketa bisnis ini perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya secara tepat dan tidak berkepanjangan,” kata Bambang Sutiyoso, S.H., M.Hum dalam ujian terbuka program doktor Fakultas Hukum UGM, Senin (24/8) di Fakultas Hukum UGM.
Bambang Sutiyoso dalam kesempatan itu mempertahankan disertasinya berjudul “Interpretasi Kontrak dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis di Pengadilan”.
Menurut Bambang, salah satu sebab terjadinya sengketa bisnis adalah adanya pemahaman dan interpretasi yang berbeda terhadap isi kontrak yang telah dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal ini terjadi karena masih banyak dijumpai kontrak yang memuat norma samar, baik rumusan kata-katanya tidak jelas/kabur, terlalu umum, hingga bermakna ganda.
“Pembuatan kontrak merupakan perbuatan hukum dalam ranah hukum bisnis, khususnya hukum kontrak,” kata dosen Fakultas Hukum UII ini.
Penelitian yang dilakukan Bambang ini membahas beberapa persoalan terkait interpretasi kontrak dalam penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan, khususnya dilingkungan Mahkamah Agung (MA). Kontrak yang dibuat para pihak masih berpeluang menimbulkan sengketa bisnis, terutama terkait dengan rumusan isi kontrak yang tidak jelas, sehingga dalam penyelesaian kasusnya di lembaga peradilan memerlukan interpretasi untuk mengetahui apa sesungguhnya maksud yang dikehendaki para pihak sehingga kontrak dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya.
Dari hasil penelitian tersebut terungkap ada beberapa faktor internal dan eksternal yang menyebabkan ketidkjelasan interpretasi kontrak. Faktor internal itu antara lain kurangnya wawasan hukum para subjek kontrak. Sementara itu, faktor eksternal antara lain perangkat aturan hukum belum mengatur atau tidak ada.
“Dijumpai perbedaan interpretasi kontrak oleh hakim dalam penyelesaian sengketa bisnis di pengadilan,” tegas Bambang.
Di akhir disertasi Bambang berharap agar perusahaan atau unit bisnis lainnya perlu meningkatkan kemampuan SDM-nya dalam pembuatan kontrak melalui berbagai pendidikan dan pelatihan dengan melibatkan konsultan ahli di bidang kontrak bisnis. (Humas UGM/Satria)