Program jaminan kesehatan nasional (JKN) telah diberlakukan di Indonesia sejak 2014 lalu. Meskipun telah berjalan lebih dari 1 tahun, sistem ini masih banyak ditemui kekurangan dalam pelaksanaannya. Berbagai tantangan dan kendala yang menghadang dalam upaya mewujudkan jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi semua penduduk Indonesia. “Termasuk pada aspek regulasi perundangan,” kata pakar kesehatan masyarakt UGM, Prof.dr. Ali Ghufron Mukti, Sabtu (29/8) di Fakultas Hukum (FH) UGM.
Mantan Wamenkes RI ini hadir sebagai salah satu pembicara pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana FH UGM. Dalam kesempatan itu ia menghimbau para mahasiswa baru pascasarjana FH UGM terutama di bidang hukum kesehatan untuk belajar secara mendalam terkait aspek regulasi perundangan JKN. Dengan demikian diharapkan implementasi JKN ataupun Sistem Jaminan Sosial Nasional dan praktik kedokteran mampu melindungi semua pemangku kepentingan. “Saya harap Anda semua mempelajari lebih dalam sehingga nantinya implementasi JKN bisa memberikan perlindungan bagi semua dengan adil dan proporsional,” tuturnya.
Sementara Guru Besar FH UGM, Prof. Dr. Siti Ismijati Jenie,S.H.,CN., menyampaikan terkait berbagai aspek hukum dalam pelayanan kesehatan. Salah satunya dalam pelayanan kesehatan kuratif yang seringkali memunculkan banyak permasalahan hukum.
Menurutnya berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan kuratif yaitu pemerintah, rumah sakit, tenaga medis, paramedis, pasien, dan pihak asuransi perlu bekerjasama dan berinteraksi menuju terwujudnya pelayanan kesehatan kuratif yang baik. Dalam interaksi tersebut, kata dia, banyak dilakukan perbuatan-perbuatan maupun hubungan-hubungan yang akibatnya diatur oleh hukum atau secara yuridis disebut perbuatan hukum dan hubungan hukum. Perbuatan hukum dan atau hubungan hukum tersebut dapat bergerak dalam berbagai ranah hukum tergantung dari jenis perbuatan dan hubungan hukumnya serta pihak-pihak yang melakukan perbuatan dan atau hubungan hukum tersebut.
Guru Besar FH Universitas Diponegoro Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., dalam kesempatan itu lebih banyak menyoroti tentang mediasi penal. Mediasi penal di beberapa negara dimungkinkan dalam perkara pidana. Namun begitu upaya ini harus tetap diberi payung hukum yang diintegrasikan dalam hukum pidana material KUHP atau hukun pidana formal (KUHAP), maupun dalam Undang-undang khusus.
Barda mencontohkan mediasi penal di beberapa negara Eropa. Upaya mediasi ini ditempatkan sebagai bagian dari UU Peradilan Anak yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia. Selanjutnya ditempatkan dalam KUHAP di Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia. Sementara mediasi penal ditempatkan dalam KUHP yaitu di Finlandia, Jerman, dan Polandia dan diatur secara otonom dalam UU Mediasi seperti di Norwegia yang diberlakukan untuk anak-anak maupun dewasa.
Lebih lanjut Barda menyampaikan mediasi penal juga dapat digunakan dalam sengketa pelayanan kesehatan. Namun demikian mediasi ini hanya diberlakukan untuk delik pasal 84 UU 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. “Mediasi penal hanya untuk delik pasal 84 yaitu tenaga kesehatan yang melakukan kelalian berat yang mengakibatkan penerima pelayanan kesehatan luka berat atau meninggal dunia,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)