Idealnya sebuah kota berkembang bila sesuai dengan karakter dan potensi yang dimilikinya. Meski begitu, Kota Banjarmasin dalam perkembanggannya justru meninggalkan arsitektur tepian sungai dan budaya kehidupan sungai sebagai karakter dan potensi yang dimiliki. Dari penelusuran pustaka terhadap teori dan konsep permukiman tepi sungai yang sudah ada, hingga kini diyakini belum ada yang mampu menjelaskan bagaimana tranformasi yang terjadi pada permukiman tepi sungai Banjarmasin.
Untuk itu secara akademik, menurut Ira Mentayani, dosen Prodi Teknik Arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat, fenomena transformasi permukiman tepi sungai ini penting diteliti, karena dampaknya sangat besar terhadap arah pertumbuhan kota dan citra/identitas Kota Banjarmasin sebagai ‘kota seribu sungai’. Sebab, transformasi tidak dapat dihalangi dan akan terus terjadi seiring perkembangan di segala bidang.
“Dengan memahami bagaimana proses dan mengapa terjadi tranformai tersebut maka prediksi dan upaya pengendaliannya dapat diantisipasi,” ujar Ira, saat ujian doktor di KPTU Fakultas Teknik UGM, Sabtu (29/8).
Ira menyatakan transformasi yang terjadi pada permukiman tepi sungai di Kota Banjarmasin tergambar dari tiga fase. Pada fase eksistensi, sungai dalam kehidupan menunjukkan adanya ketergantungan yang besar akan fungsi sungai, sehingga pertumbuhan pola hunian, orientasi dan fungsi bangunan, material dan konstruksi, dan aktivitas keseharian senantiasa menjadikan sungai sebagai pertimbangan utama dalam berhuni dan bermukim. Pada fase ko-eksistensi sungai dan jalan menunjukkan peran sungai dalam kehidupan terimbangi dengan pertumbuhan jalan sebagai simbol kemajuan di area darat. Sedangkan pada fase dominasi jalan darat dalam perkembangan saat ini, mengindikasikan adanya ketidakseimbangan pembangunan infrastruktur dan fasilitas lingkungan di area sungai dan darat.
“Keterbatasan material konstruksi serta minimnya pengetahuan membangun di tepian sungai dan jaminan kelayakan di darat lebih menjadi latar belakang semakin bergesernya peran sungai dalam kehidupan masyarakatnya”, kata Ira memaparkan hasil-hasil penelitiannya.
Dalam desertasi berjudul “Transformasi Adaptif Permukiman Tepi Sungai di kota Banjarmasin, kasus : Barito-Muara Kuin, Martapura dan Alalak”, penelitian Ira menemukan delapan bentuk transformasi. Transformasi dari area perairan ke area darat, dari kavling tradisional ke kavling fungsional, dari konstruksi terapung ke berpanggung ke non panggung. Transormasi dari lokalitas ke modernitas, vernakular kontemporer, bersinggah-bertambat dan menetap, dari sistem kekerabatan ke sistem kemandirian, ketetaggaan, dari material alami ke fabrikan sebagai respon atas ancaman bahaya dan upaya mitigasi. Dari fungsi hunian ke hunian produktif dan dari religi-tradisi membangun dan berhuni ke praksis privasi ekonomi.
“Sedangkan dari cara bertransformasi, ditemukan tiga cara melalui perpindahan, penambahan da kombinasi keduanya, dan menggunakan strategi adaptasi, yaitu adaptation by adjusment, adaptation by reaction dan adaptation by withdrawl, serta kombinasi ketiganya. Cara tranformasi ini menunjukkan adanya tingkat pemahaman masyarakat dalam menyikapi keterbatasan di area sungai dengan implementasi membangun dan berhni di area darat namun beriteraksi dengan sungai”, tandas Ira. (Humas UGM/ Agung)