Yogyakarta – Sastra peranakan Tionghoa merupakan salah satu karya sastra Indonesia. Seperti kebanyakan karya sastra pada umumnya, karya sastra peranakan Tionghoa sangat dipengaruhi oleh latar kehidupan para pengarangnya. Karya sastra ini memiliki keragaman topik, materi teks, sumber cerita, dan isu sebagai wujud atau simbol reaksi sosial suatu kelompok masyarakat.
Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, Dwi Susanto, mengatakan dalam struktrur teks sastra peranakan Tionghoa menunjukkan adanya oposisi seperti Barat versus Timur, global versus lokal, materialisme versus spiritualisme, perubahan versus anti perubahan, liberalisme dan sosialisme versus ruh dunia Timur, serta hal lainnya. Struktur teks karya sastra ini memperlihatkan gagasan mengenai konstruksi manusia ideal yang digambarkan mampu melakukan harmonisasi dan keseimbangan dengan alam. “Seperti dalam struktur teks Lo Fen Koei (1930) karya Gouw Peng Liang memunculkan gagasan moralitas untuk mencapai keseimbangan dan harmonisasi dengan lingkungan,” terangnya, Jumat (4/9) saat ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Dalam mencapai moralitas itu, kata dia, perempuan pribumi dijadikan simbol tradisi lokal atau adat pribumi yang harus diluruhkan identitasnya melalui penyatuan yang kurang baik adatnya dengan yang baik adatnya agar menjadi baik. Hal ini disimbolkan dalam perkawinan antara perempuan pribumi dengan laki-laki Tionghoa. “Justru penyatuan tradisi ini tidak menunjukkan keseimbangan karena meniadakan dan cenderung memandang yang lain tidak baik tradisi dan adatnya. Teks ini cenderung mengingkari persatuan yang sejajar antara yang dipandang kurang baik dengan yang dianggap baik,” urai pria kelahiran Tulungagung, 34 tahun lalu ini.
Selanjutnya dari penelitian yang dilakukan pada struktur teks Drama di Boven Digoel (1929-1932) karya Kwee Tek Hoay disebutkan Dwi terdapat sebuah resistensi terhadap konstruksi identitas subjek yang diungkapkan dunia Barat yaitu manusia sebagai pusatnya. Kendati begitu, teks ini tidak bersifat anti-Barat, namun oposisi antara keduanya didamaikan dan diharmonisasikan dengan gagasan spiritualitas. Spiritualitas yang digagas teks ini dijadikan sebagai penyeimbang dan harmonisasi keberadaan etnis dan keragaman di Indonesia. “Gagasan yang dikemukakan sama halnya dengan gagasan kebangsaan atau nasionalisme dan menunjukkan penolakan terhadap ide yang dibawa oleh struktur masyarakat kolonial,” tuturnya.
Disampaikan Dwi, dalam struktur teks Berdjoeang (1934) karya Liem Khing Hoo dibangun berdasarkan pada gagasan bahwa konstruksi identitas manusia dan tatanan masyarakat peranakan Tionghoa harus dikembalikan pada tradisi leluhur sebagai wujud keseimbangan dalam memnghadapu berbagai perjumpaan tradisi. Melalui kontekstualisasi tradisi ini, gagasan keharmonisan dan keseimbangan dalam menentukan posisinya bisa tercapai. “Seperti halnya dalam teks-teks sebelumnya, R.A. Moerhia (1934) karya Njoo Cheong Seng mengusung gagasan untuk kembali kepada lokalitas. Berbeda pada struktur teks Nona Tjoe Joe (1903) karya Tio Ie Soei justru memperlihatkan pilihan ambigu antara Barat dan Timur dengan memunculkan gagasan untuk hidup harmonis di antara kedua tradisi tersebut,” paparnya.
Lebih lanjut Dwi mengatakan relasi antara struktur teks dan struktur sosial bisa dilihat melalui pola-polanya. Struktur teks memperlihatkan gagasan penolakan atau reinterpretasi terhadap manusia moderen versi dunia Barat. Sementara, struktur yang berkembang mengemukakan tentang pembentukan subjek sesuai cita rasa dunia Barat. Dalam meresponnya, teks sastra peranakan Tionghoa melakukan destrukturisasi dengan penciptaan ulang manusia ideal sebagai cara bertahan dan mengamakan posisi. Sekaligus mendefinisikan ulang keadaannya saat dihadapkan pada gagasan manusia modern versi dunia Barat.
Menurutnya hal utama yang dijadikan perjuang para pengarang ini adalah cara menempatkan diri atau mengamankan posisi mereka. Adapun upaya membela dan mempertahankan diri agar tetap aman dilakukan dengan mengembangkan strategi internalisasi nilai-nilai lokal, meresistansi gagasan kultural dan pembentukan subjek manusia Barat, serta mereaktualisasi tradisi leluhur yang disesuaikan dengan perkembangan realitas. (Humas UGM/Ika)