
YOGYAKARTA – Di hampir seluruh negara, pengusahaan listrik mengemban misi sosial sehingga listrik dipandang sebagai infrastruktur. Konsekuensinya, pemerintah menyediakan subsidi bagi operator kelistrikan. Subsidi listrik berhubungan dengan biaya pokok penyediaan listrik yang masih tinggi melebihi harga tarif yang ditentukan pemerintah terutama tarif untuk pelanggan dari kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Seperti diketahui biaya pokok penyediaan listrik berdasarkan APBNP 2014 sebesar Rp 1.359,54 per kWh, sedangkan harga jual listrik rata-rata hanya sebesar Rp 929,80 per kWh sehingga subsidi tahun 2014 mencapai lebih dai 80 triliun rupiah. Sementara pendapatan dari pelanggan melalui penjualan energi, hanya memberikan pendapatan sebesar Rp 8,55 triliun untuk pelanggan 450 VA dan Rp 15,229 triliun untuk golongan 900 VA.
Guru Besar Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi pada Fakultas Teknik UGM Prof. Dr. Ir. Sasongko Pramono Hadi, DEA., mengatakan subsidi listrik yang diberikan pemerintah belum tepat sasaran. Agar subsidi tepat sasaran, kata Pramono, salah satu caranya ialah tarif disusun dengan mempertimbangan adanya insentif bagi pengguna listrik untuk kegiatan produktif dan disinsentif bagi pengguna listrik untuk kegiatan konsumtif. “Kegiatan produktif yang mendapat insentif ialah kegiatan industri, terutama industri kecil, sedangkan kegiatan konsumtif yang memperoleh disinsentif ialah pelanggan rumah tangga yang memiliki kapasitas langganan 1.300 VA ke atas yang umumnya memiliki peralatan listrik tersier,” kata Sasongko dalam Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar di ruang Balai Senat UGM, Senin (7/9).
Sasongko menambahkan, penentuan tarif listrik perlu diupayakan agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan menjamin penggunaan daya listrik secara optimal dalam batasan ketersediaan. Menurutnya, penerapan tarif sesuai nilai keekonomian bagi pelanggan mampu melalui program tariff adjustment, “Tanpa menghapus subsidi bagi pelanggan dengan kemampuan bayar rendah dan untuk kegiatan produktif skala kecil,” paparnya.
Meski begitu, penyusunan formula tariff adjustment juga harus mempertimbangkan kondisi tata niaga dalam bisnis kelistrikan. Tata niaga yang perlu menjadi konsideran terkait jual beli energi primer dengan pemasok dan jual beli energi listrik dengan konsumen.
Dia menerangkan dari 53,7 juta pelanggan listrik di Indonesia di tahun 2013, sebagian besar adalah pelanggan rumah tangga kecil, ada 21,499 juta atau 40,03% pelanggan listrik golongan tarif R1 450 VA dan terdapat 18,904 juta atau 53,2% pelanggan golongan tarif 900 VA.
Menurutnya, penarifan listrik di Indonesia saat ini menujukkan adanya fleksibilitas yang memungkinakan adanya perubahan tarif yang adil bagi pelanggan. Namun kenaikan nilai tukar dolar Amerika terhadap rupiah dan penurunan harga minyak yang sangat signifikan akhir-akhir ini telah menyebabkan perubahan penurunan biaya pokok penyediaan listrik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)