YOGYAKARTA – Diperkirakan sekitar 1.724 ekor gajah yang masih tersisa di Sumatera, namun diperkirakan hewan langka berbelalai ini makin terancam dikarenakan 85 persen hidup di luar kawasan habitat. Sehubungan adanya alih fungsi habitat gajah di seluruh wilayah Sumatera yang memotong jalur-jalur penting migrasi gajah Sumatera dan mengkotak-kotakkan populasi yang tersisa. Selain itu adanya perburuan gajah di wilayah Aceh, Riau, Bengkulu dan Lampung serta konflik gajah dan manusia masih terus berlangsung di Sumatera. Di samping itu gajah juga menghadapi ancaman penyakit Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV) yang menyebabkan kematian pada anak gajah dalam jumlah banyak.
Demikian yang mengemuka Workshop Penanganan Medis dan Pengendalian Gajah yang dilaksanakan Fakultas Kedokteran Hewan UGM pada akhir pekan lalu. Peserta yang hadir berasal dari para dokter hewan, pawang gajah (mahout) dan pengelola kebun binatang dari berbagai kota seperti dari Sumatera, Jakarta, Solo, Surabaya, Yogyakarta dan Bali.
Pemerhati gajah dari Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (VESSWIC), drh. Muhammad Wahyu, mengatakan kelestarian gajah di Lembaga Konservasi (LK) eks-situ maupun di alam liar makin terancam akibat hilangnya habitat dan konflik dan perburuan manusia, serta bahya penularan penyakit EEHV. Menurut wahyu kasus EEHV banyak ditemukan di Tangkahan Aceh, Aras Napal Sumatera Utara dan di Way Kambas Lampung. Gajah yang terkena penyakit ini menurutnya menunjukkan adanya gejala berupa kelemahan umum yang diikuti dengan wajah bengkak dengan lidah membiru. Di sumatera penyakit ini menyebabkan banyak anak gajah yang mati. “Selama 3 tahun kasus EEHVdiketahui muncul di Sumatra Utara dan Lampung,” katanya.
Menurut Wahyu, dalam beberapa literatur menyebutkan virus EEHV memang sudah ada pada populasi gajah asia, karena bersifat fatal pada gajah muda, gajah tua, atau gajah yang mengalami imunitas yang menurun. Meski ada juga literatur yang menyebutkan EEHV merupakan virus baru pada gajah asia akibat cross infection dari gajah afrika yang dipelihara bersama.
Mengatasi ancaman Virus Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV), kata Wahyu memerlukan tindakan medik yang lebih efektif dengan melibatkan dukungan penelitian-penelitian dari perguruan tinggi di bidang sain veteriner. “Termasuk bidang ilmu lain seperti genetika untuk mendukung kelestarian gajah,” tuturnya.
Tidak hanya itu, kata Wahyu, sinergi antara dokter hewan dan mahout dinilainya cukup efektif dalam menangani masalah kesehatan gajah. “Terutama informasi mengenai metode penanganan gajah, penyakit gajah, metode penanganan penyakit, dan kebijakan terkait dengan kelestarian gajah,” ungkapnya.
Sementara pawang gajah senior, Nazarudin, mengatakan ada metode khusus dalam penggunaan perintah-perintah untuk mengendalikan gajah bagi mahout dalam menangani gajah jinak maupun gajah liar. “Diperlukan kompetensi khusus bagi mahout dalam menangani gajah dengan baik,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)