
Sebanyak 71 tim dari 29 perguruan tinggi di Indonesia siap bertanding dalam Kontes Robot Terbang Indonesia (KRTI) 2015. Kompetisi rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 17-20 September 2015 bertempat di Lapangan Gading, Wonosari, Gunungkidul.
Ketua Umum KRTI 2015, Drs. Senawi, M.P., menyampaikan KRTI mengangkat tema “Menuju Kemandirian Teknologi Wahana Terbang Tanpa Awak”. Diselenggarakan atas kerjasama Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Universitas Gadjah Mada, Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dan Lanud Adisucipto.
Dalam kompetisi pembuatan robot terbang nasional ini kata dia melibatkan setidaknya 213 mahasiswa yang tergabung dalam 71 tim dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dalam kontes ini seluruh peserta ditantang untuk mendesain, membuat, hingga menerbangkan sebuah pesawat tanpa awak atau yang dikenal dengan UAV. Tantangan yang diberikan mengharuskan peserta untuk bisa menyelaraskan antara geometri pesawat,konstruksi dan sistem elektronik yang diintegrasikan pada pesawat terbang tanpa awak. ”Melalui kontes ini diharapkan mampu menumbuhkan dan mendorong kreativitas mahasiswa khususnya dalam bidang teknologi,” tutur Direktur Kemahasiswaan UGM ini, Jum’at (11/9) dalam jumpa pers KRTI 2015 di Wonosari, Gunungkidul.
Sementara Ketua Dewan Juri KRTI, Gesang Nugroho,S.T.,M.T.,Ph.D., menyampaikan kontes robot terbang kali ini akan mempertandingkan tiga kategori lomba yang terbagi dalam enam kelas pertandingan. Pertama adalah divisi racing jet (RJ) yang terdiri dari kelas leight weight (LW) dan kelas heavy weight (HW). Dalam divisi ini kecepatan pesawat menjadi fokus utama dalam penilaian. “Intinya lomba kecepatan, dua pesawat balapan mana yang tercepat,”jelasnya.
Selanjutnya kategori kedua adalah divisi fixed wing (FW) terdiri dari kelas monitoring(FWMon) dan kelas mapping (FWMap). Pada kelas monitoring pesawat nantinya akan diterbangkan untuk memonitor sebuah jalan sepanjang 3 kilometer dan mengirimkan hasil video secara streaming. Adapun kriteria penilaian berdasarkan kualitas dari hasil video yang dikirim. Sementara pada kelas mapping setiap peserta dituntut untuk menerbangkan pesawat dengan mode otomatis untuk memotret area sluas 500×1.500 meter yang selanjutnya diolah menjadi peta. “Yang dinilai adalah kualitas peta yang dihasilkan,” tuturnya.
Berikutnya divisi vertical take off landing (VTOL) terdiri dari kelas water-based fire distinguiser (VTOL-WFE) dan kelas non-water-based fire distinguiser (VTOL-NWFE). Dalam kategori ini nantinya peserta ditantang untuk menerbangkan pesawat untuk memadamkan kebakaran di dalam area seluas 50×50 meter. “Ada 9 titik api yang dinyalakan secara acak untuk dipadamkan,” ujarnya. (Huma UGM/Ika)