YOGYAKARTA – Penguasaan teknologi untuk membangun industri pesawat nirawak di tanah air sangat diperlukan. Pasalnya dengan kondisi geografis negara kepulauan dan beberapa kejadian kebencanaan seperti kebakaran hutan di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan, kehadiran pesawat tanpa awak diharapkan cukup membantu. Meski begitu industri pesawat nirawak ini belum begitu berkembang di Indonesia. Pemerintah dan pihak swasta diharapkan bisa mendorong upaya ke arah itu.
Untuk menumbuhkan minat anak muda dalam penguasaan teknologi pesawat nir awak ini, salah satu program yang kini dilakukan oleh Kementerian Ristek Dikti dalam 3 tahun terakhir melaksanakan perlombaan Kontes Robot Terbang Indonesia (KRTI) yang diikuti kalangan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Bila sebelumnya kompetisi ini pernah dilaksanakan pertama kali di Bandung, lalu tahun lalu di Surabaya, maka tahun ini diselenggarakan di lapangan Gading, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Sedikitnya 71 peserta dari 29 perguruan tinggi yang mengikuti kompetisi ini diantaranya UGM, ITS, PEN Surabaya, ITB, UI, Unila, Univ Telkom, UAD, STMIK Teknokrat, UMY, UNY, Unsri, Universitas Andalas, Universitas Brawijaya, Universitas Kristen Maranatha, Universitas Katolik Soegijapranata, Univ Suryadarma, Univ Trunojoyo Madura, dan Univ Komputer Indonesia. Kompetisi ini berlangsung selama tiga hari, 17-19 September.
Ketua panitia KRTI, Joko Waluyo, mengatakan penyelenggaraan kompetisi ini dalam rangka mendorong penguasaan teknologi pesawat tanpa awak di kalangan mahasiswa. Lewat kompetisi ini, diharapkan penguasaan teknologi pesawat tanpa awak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meski pesawat tanpa awak yang dikompetisikan dalam ukuran kecil, berdiameter maksimal 2 meter denga berat maksimal 5 kilogram. Namun komponen pesawat yang dilombakan ini sudah bisa diproduksi di bengkel lokal. “Sementara ini komponen lokalnya sudah mencapai 80 persen,” kata Waluyo kepada warwatan usai pembukaan kontes KRTI di Gunungkidul, Kamis (17/9).
Menurut Waluyo, kompetisi teknologi ini menurutya idealnya tidak selesai hanya lewat kompetisi. Seharusnya terus ditindaklanjuti dengan kerja sama intesif antara pemerintah dan swasta. “Selama ini untuk produksi peswat yang lebih besar terkendala pada biaya,” katanya.
Menurut Waluyo penggunaan pesawat tanpa awak sangat cocok dengan kondisi Indonesia sebab bisa digunakan untuk kepentingan pengawasan perbatasan, pengawasan aset vital dan pemantau daerah terkena bencana. “Dibandingkan dengan pesawat tempur F16 yang harganya mencapai 1,7 triliun rupiah, saya kira pesawat tanpa awak harganya apabila dibuat bisa hanya sekitar 1 milyar rupiah,” paparnya.
Ketua Dewan Juri KTRI Gesang Nugroho, Ph.D., mengatakan kemampuan teknologi pesawat yang digunakan oleh para peserta dalam perlombaan kali ini meningkat dibanding tahun sebelumnya. Dalam perlombaan ini sendiri, ada tiga jenis perlombaan yakni Divisi Racing Jet, Divisi Fixed Wing dan Divisi Vertical Take off. Perlombaan Racing Jet menurut Gesang merupakan perlombaan adu kecepatan pesawat sehingga bisa diaplikasikan untuk teknologi pesawat tempur tanpa awak. Sementara kategori Fix Wing, teknologinya bisa digunakan untuk kepentinga pengawasan dan pemetaan. Adapun kategori vertical take off, menurutnya bisa diaplikasikan untuk deteksi api saat terjadi bencana kebakaran hutan. “Pesawat wahana tanpa awak ini, selain biaya operasionalnya murah, berisiko rendah, dan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi,” katanya.
Pembukaan kontes robot terbang ini dihadiri Dirjen Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kementerian Ristek Dikti Prof. Ocky Karna Rajasa, Ph.D., dan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Dr. Paripurna. Dalam pidato sambutannya, Paripurna mengatakan kemajuan suatu bangsa ditentukan dari kemampuan menguasai teknologi dan kemampuan negara mensejahterahkan masyarakatnya. Penguasaan teknologi dan mensejahterahkan masyarakat bisa berjalan seiring apabila negara bisa mendorong SDM-nya mampu menguasai pengetahuan dan teknologi dengan baik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)