
YOGYAKARTA – Ratusan tokoh dan pemerhati pertanian mendesak agar pemerintah membentuk kelembagaan ekonomi dan sosial bagi petani. Kelembagaan tersebut diharapkan mampu meningkatkan daya saing petani dan kemandirian petani dalam hal produktivitas produk pertanian dan perkebunan. Kelembagaan tersebut bisa dalam bentuk koperasi, badan usaha maupun kelembagaan baru.
Demikian yang mengemuka dalam diskusi nasional ‘Mewujudkan Kemandirian Petani melalui Penguatan Kelembagaan’ di gedung University Club UGM, Jumat (18/9). Diskusi yang diinisiasi oleh Fakultas Pertanian UGM ini menghadirkan pembicara diantaranya pemerhati kelembagaan pertanian dari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM Dr. Lestari Rahayu, Ketua Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera, Sulawesi Tenggara, Ir. Bambang, MM, Mantan Menteri Pertanian RI Bungaran Saragih dan pemerhati perkebunan Ir. Mangga Barani.
Lestari Rahayu mengatakan salah satu persoalan yang dihadapi para petani pasca panen adalah bidang pengolahan dan pemasaran. Padahal bidang tersebut bisa dilakukan lewat unit usaha bersama petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan koperasi. Meski pun sudah ada Gapoktan yang memiliki koperasi namun kegiatan utama koperasi petani tersebut lebih banyak pada usaha simpan pinjam.
Hal itu dipaparkan oleh Lestari setelah dirinya melakukan penelitian koperasi petani yang ada di DIY. Ia menyebutkan hanya 40 persen koperasi petani di DIY yang masih aktif. Namun dari 140-an koperasi yang diteliti tersebut, kurang dari 5 persen yang sudah memiliki badan hukum. Adapun kegiatan usaha terbesar koperasi petani tersebut sekitar 70 persen lebih banyak pada usaha simpan pinjam. Sementara dalam bidang pengembangan usaha produk pertanian masih sangat minim. “Usaha produktif dan sektor riil belum maksimal,” katanya.
Menurutnya, kelembagaan ekonomi petani lewat koperasi yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum seharusnya memiliki usaha tani dari hulu hingga hilir. Apabila ini dilakukan maka bisa meningkatkan daya saing dan ekonomi petani.
Lestari Rahayu menilai seharusnya Gapoktan didorong untuk membentuk koperasi. Beberapa jenis koperasi petani yang menurutnya saat ini sudah berjalan baik di Indonesia adalah koperasi disektor perkebunan tebu. Lestari menilai koperasi untuk sektor pertanian kakao juga perlu didorong. “Yang sudah berjalan koperasi di sektor perkebunan tebu, mungkin kakao bisa diarahkan ke situ,” katanya.
Dengan membentuk koperasi, kata Lestari, maka akan mempermudah bagi kelompok tani dalam menjalin kerja sama kemitraan dengan berbagai perusahaan. “Tapi kemitraan bisa jalan apabila kelembagaan ekonomi petani sudah kuat. Kita usul Gapoktan menjadi koperasi dan mau bermitra denga perusahaan,” paparnya.
Ketua Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM) Sejahtera, Sulawesi Tenggara, Ir. Bambang, MM., mengatakan salah satu persolan yang dihadapi petani adalah tingkat daya saing produk pertanian karena produktivitas, kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang rendah. Padahal untuk bersaing dengan produk dari luar tingkat keamanan pangan dan standarisasi lebih diutamakan.
Bambang mengatakan salah satu yang telah dilakukannya adalah mendirikan Lembaga Ekonomi (LEM) Sejahtera dalam upaya membangun komitmen bersama antar petani untuk berswadaya. Umumnya anggota LEM sejahtera ini kalangan petani. Di lembaga swadaya petani ini, setiap petani mengivestasi secara swadaya minimal Rp 1 juta per kepala keluarga. “Dana swadaya tersebut digunakan untuk modal simpan pinjam. Kegiatan sinpam pinjam ini mampu mengatasi ketergantungan petani terhadap rentenir,” ujarnya.
Melalui lembaga LEM Sejahtera ini, kata Bambang, pemenuhan bibit, pupuk, pestisida dan peralatan petanian bagi petani tidak lagi diadakan secara individu melainkan direncanakan, diorganisir dan diadakan secara kolektif. “Saat ini tercatat lebih dari 70 desa LEM Sejahtera fokus ke komoditi kakao,” terangnya.
Mantan menteri pertanian Bungaran Saragih mengatakan dirinya sepakat apabila pemerintah membentuk kelembagaan ekonomi bagi petani. Menurutnya keberhasilan provinsi Sulawesi Tenggara membentuk kelembagaan ekonomi bagi petani dalam lima tahun terakhir patut dicontoh dan diterapkan di daerah lain. “Reformasi dan Otonomi Daerah sudah dilakukan, tapi membangun ekonomi pertanian itu belum dan ide itu justru datang dari Sulawesi Tenggara. Saya sangat mengapresiasi, eksperimen semacam ini tidak banyak muncul, ” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)