
Bali – Bencana longsor menjadi salah satu tantangan besar dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur. Kendati begitu, bencana tanah longsor ini membuka peluang baru di bidang riset dan teknologi dalam pengembangan mitigasi longsor, pemodelan, dan teknologi sistem peringatan dini. Tidak hanya itu, upaya stabilisasi lereng pun telah mengalami perkembangan pesat selama dua dekade terakhir. Hal tersebut mengemuka dalam konferensi internasional SLOPE 2015 yang diselenggarakan di Kuta, Bali tanggal 27-30 September 2015.
Konferensi SLOPE diikuti ratusan peneliti, akademisi, dan ahli kebencanaan dari berbagai negara di dunia untuk saling bertukar ide dan pengalaman terkait stabilitas lereng dan bencana longsor. Terdapat 90 makalah yang akan dipersentasikan dalam 15 subtema.
Dalam kesempatan tersebut Rektor UGM Rektor UGM, Prof.Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., yang juga merupakan Vice President of International Consortium on Landslides (ICL) hadir sebagai pembicara kunci. Selain itu, acara ini juga menghadirkan sejumlah pembicara lain Prof. Kenji Ishihara (Chuo University), Dr. Surya Prakash (NIDM India), Prof. Ikuo Tohwata (ISSMGE Asia), Dr. Surono (Badan Geologi ESDM), Prof. Harianto Rahardjo (Nanyang Technological University Singapore), Prof. Sang-Seom Jeong (Yosei University, Korea Selatan) dan lainnya.
Dwikorita saat memberikan keynote speech berjudul “Total Quality Capacity Development for Landslide Mitigation”, menyampaikan bahwa saat ini telah banyak dilakukan penelitian dan publikasi di bidang tanah longsor. Sayangnya, saat terjadi bencana longsor masih saja memakan korban jiwa dan kerusakan infrasturuktur. Karenanya dalam mitigasi bencana hendaknya berbasis kearifan lokal. “Penerapkan strategi dan metode pendekatan yang sesuai dengan kearifan lokal dan budaya masyarakat serta murah, mudah, dan atraktif,” terangnya.
Upaya pembangunan kapasitas, dikatakan Dwikorta juga harus memperhatikan keberlanjutan program dari awal hingga akhir. Di samping itu juga melibatkan banyak sasaran, aktor, media, dan komunikasi. “Penting juga menerapkan sosio-enterpreneur dan melibatkan sektor swasta serta industri,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Dwikorita juga menyampaikan tentang International Consortium on Landslides (ICL). Sejak didirikan pada tahun 2002 silam konsorsium ini aktif mempromosikan riset dan pembangunan kapasitas dalam pengurangan risiko bencana longsor melalui kerja sama multi-disiplin dengan berbagai negara. ICL mendukung kerjasama dan inisiatif di bidang riset dan teknologi, diskusi dan pembelajaran melalui forum ilmiah dalam upaya memecahkan permasalahan bencana longsor di lapangan dan komunitas.
Sehari sebelum konferensi juga diadakan pre-conference workshop. Dalam kegiatan tersebut, dosen Fakultas Teknik UGM Dr. Teuku Faisal Fathani menjadi pembicara kunci bersama pembicara lain dari India, Jepang, dan Singapura. Topik yang dibawakan tentang pengembangan sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor. UGM bersama BNPB telah berhasil menyusun Standar Nasional Indonesia tentang Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah. Sistem tersebut telah berhasil diimplementasikan di 20 propinsi Indonesia melibatkan komunitas, BNPB, Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi, pemerintah daerah, universitas, sektor swasta, dan industri. (Humas UGM/Ika)