Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta merupakan pusat-pusat kebudayaan Jawa yang menghasilkan karya-karya budaya adiluhung. Namun, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta kehilangan status sebagai daerah swapraja karena tidak bersimpati pada revolusi dan akhirnya digabung menjadi bagian provinsi Jawa Tengah.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum menyebutkan bahwa kebudayaan Jawa Surakarta yang berkembang di kedua institusi itu secara teoritis tidak bisa berkembang. Namun ditengah-tengah kondisi tersebut kenyataanyaan di dunia kebudayaan Jawa, gaya Surakarta tampil lebih dominan dalam konteks makro keindonesiaan dibanding dengan Yogyakarta.
” Misalnya pada seni pertunjukkan tradisi Jawa Surakarta yang mencakup karawitan, tari, dan pedhalangan tampak berkembang lebih dinamis dan mewarnai kehidupan kebudayaan Jawa dalam panggung Indonesia di masa kemerdekaan,”jelasnya saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, Rabu (30/9) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Dhanang menyebutkan ketika secara politis Surakarta tidak memperoleh tempat dalam panggung Indonesia merdeka, melalui bidang kebudayaan Surakarta berupaya menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Dalam hal ini menempatkan kebudayaan Jawa Surakarta sebagai aspek utama dalam pembangunan kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu,pembangunan kebudayaan Indonesia dijadikan sebagai momentum dan menjadi pijakan untuk membangun kembali kebudayaan Jawa Surakarta yang mengalami kemunduran pasca keruntuhan kekuasaan politik Kasunanan dan Mangkunagaran.
Pemerintah Indonesia dan pemda Surakarta melakukan berbagai upaya untuk mendorong pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Hal tersebut mendapatkan dukungan aktif dari masyarakat Surakarta meliputi masyarakat keraton, tokoh dan anggota masyarakat yang tergabung dalam sangar-sanggar atau paguyuban seni. “Kegiatan dan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan Jawa di Surakarta menjadikan seni pertunjukkan Jawa Surakarta berkembang secara dinamis,”terangnya.
Keberhasilan dalam mengembangkan seni pertunjukkan Jawa Surakarta yang moderen dalam keklasikannya, kata dia, berhasil menjadikan Surakarta sebagai pemenang dalam persaingan kultural tersebut. Kepeloporan itu ditunjukkan dengan perkembangan dan penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta yang melampaui batas wilayah admisnistratif kota Surakarta. Bahkan memiliki wilayah penyebaran yang lebih luas dibandingkan dengan seni pertunjukkan Jawa Yogyakarta.
Mempertahankan disertasi berjudul “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukkan Tradisi Keraton: Politik Kebudayan Jawa Surakarta, 1950an-1990an”, Dhanang menuturkan politik kebudayaan Surakarta terbagi dalam tiga periode. Pertama, periode 1950-1970 dimana pada masa itu kraton sebagai sumber inspirasi dan seni pertunjukkan tradisi keraton dijadikan sebagai materi pembelajaran di Konservasi Karawitan Indonesia dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta.
Berikutnya, periode kedua antara tahun 1970-1980 terjadi pengembangan dan inovasi seni pertunjukkan tradisi keraton oleh dosen dan mahasiswa ASKI dengan melibatkan seniman bertaraf empu di kerayon. Ketiga, periode 1980-1990-an merupakan masa sosialisasi dan implementasi hasil-hasil pengembangan dan inovasi seni pertunjukkan tradisi keraton. Hal ini ditandai dengan penyebarluasan garapan-garapan baru ASKI atau Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dalam bidang karawitan, tari, dan pedhalangan. (Humas UGM/Ika)