
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan menyebutkan akan membuat aturan yang membatasi waktu penyelesaian sengketa lahan, yaitu kurang dari 5-10 tahun. Dengan adanya pembatasan waktu penyelesaian sengketa tanah tersebut diharapkan dapat menambah nilai kemanfaatan lahan.
“Penyelesaian sengketa dibatasi hingga 10 tahun dan jangan sampai lebih dari itu atau kalau bisa diselesaikan dalam waktu lima tahun saja,”katanya, Kamis (1/10) saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Pertanian Revolusioner “Selamatkan Pertanian Indonesia” di Fakultas Pertanian UGM.
Ferry mengatakan pembatasan waktu penyelesaian sengketa tanah memang harus dilakukan. Pasalnya, pembiaran sengketa hingga bertahun-tahun menjadikan tanah tidak terpakai sehingga tidak bernilai guna.
“Selama ini negara terkesan tidak mau melindungi dan cenderung melakukan pembiaran terhadap kasus sengketa lahan sehingga banyak tanah yang seharusnya bisa produktif jadi berkurang kemanfaatannya,”ujarnya.
Saat ini pihaknya juga tengah mendorong penyusunan tata ruang wilayah yang mengutamakan lahan-lahan yang memiliki potensi tanah subur dan lahan pertanian produktif. Lahan-lahan tersebut nantinya akan digunakan sebagai pertanian.
“Kita lakukan koordinasi dan pemetaan sawah nasional, menjaga lahan pertanian pangan berkelanjutan dan mencegah terjadinya konversi lahan sawah produktif untuk digunakan diluar pertanian,”ujarnya.
Tidak hanya itu, upaya reformasi agraria juga dilaksanakan melalui reformasi aset dengan legalisasi tanah berupa sertifikasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan potensi tanahnya sebagai bagian dari reformasi akses.
Dalam kesempatan itu Ferry juga menyoroti tentang kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Menurutnya untuk mencegah kebakaran hutan maupun lahan agar tidak terjadi lagi perlu dilihat luasan areal lahan yang terbakar. Namun, begitu penghitungan luas areal lahan yang terbakar baru bisa diketahui setelah api bisa dipadamkan.
“Yang jelas api harus padam dulu, baru bisa melakukan pencegahan,” jelasnya.
Pencegahan tersebut dengan mengeluarkan kebijakan antara lain dengan mewajibkan perusahan atau industri di kawasan hutan maupun lahan yang terbakar untuk berperan aktif melaksanakan upaya pencegahan. Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dipenuhi pihaknya tidak akan segan melakukan pengurangan hak guna usaha. (Humas UGM/Ika)