
Pemberian izin pembukaan lahan hutan untuk perkebunan dan tambang tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah penerimaan negara. Padahal, dengan luas lahan 124 juta hektar seharusnya bisa dikelola untuk memberikan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Kenyataannya, akses masyarakat terhadap pengelolaan hutan dinilai masih sangat kecil dibanding akses perusahaan untuk mengelola. “Akses masyarakat terhadap hutan dengan perusahaan mengakses hutan sangat tidak berimbang,” kata Dekan Fakultas Kehutanan UGM Dr. Satyawan Pudyatmoko dalam Peluncuran dan Dikusi Buku ‘Tambang, Hutan dan Kebun: Tata Kelola Perizinan dan Penerimaan Negara di Sektor Berbasis Lahan’ yang berlangsung di Auditorium Fakultas Kehutanan, Kamis (1/10).
Menurut Satyawan, hutan seluas 124 juta hektar memang dikelola oleh negara dengan mekanisme pemberian perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Satyawan menilai meskipun sudah banyak izin pengelolaan hutan dan tambang dikeluarkan, pedapatan negara dari sektor ini belum optimal. “Kenapa pendapatan negara tidak optimal dari pengurusan izin? Karena dilakukan dibanyak ‘atap’ dan ‘pintu’. Tidak ada satu kesatuan informasi,” ujarnya.
Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah saat ini untuk melakukan penyederhanaan perizinan. Satyawan berharap pemberian izin kepada perusahaan untuk pengelolaan hutan dilakukan lebih selektif dan tidak memunculkan persoalan baru seperti kebakaran hutan.“Jangan sampai izin yang diberikan memunculkan permasalahan atau justru memperjelas persoalan,” tegasnya.
Satyawan menjelaskan pemberian izin pembukaan perkebunan kelapa sawit selama ini dinilainya sering menimbulkan persoalan terkait pembukaan lahan baru dengan cara membakar hutan. Satyawan berpandangan pemerintah harus memperhatikan pemberian izin untuk pengembangan sektor ekowisata. “Yang lebih mendatangkan ekonomi bagi masyarakat justru pada sektor ekowisata,” katanya.
Di tempat sama, Tjokorda Nirarta samadhi, Country Director di World Resource Institute mengatakan minimnya penerimaan negara dari pemberian izin pembukaan lahan hutan disebabkan pencatatan izin yang tidak rapi bahkan tidak terdata oleh kementerian keuangan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). “Hanya pencatatan yang tidak rapi, berpotensi kehilangan pendapatan negara sebesar 60 persen. Padahal itu pernah dilakukan UKP4, saat mengaudit pemberian izin di Barito Selatan, Kalimantan Tengah,” kata Tjokorda.
Direktur Pukat Korupsi UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar mengatakan untuk mengantisipasi banyaknya kebocoran penerimaan negara dari sekor perizinan ia mengusulkan agar ide untuk membentuk satu informasi perizinan harus diperkuat dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu ada political will dari pemerintah, koordinasi lintas kementerian serta lembaga penegak hukum. “Jangan sampai kebijkan yang dibuat digugat secara hukum di kemudian hari,” pungkas Zainal (Humas UGM/Gusti Grehenson)