Keamanan pangan masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Pasalnya, saat ini masih banyak kejadian luar biasa akibat keracunan pangan. Lebih dari itu, tidak sedikit produk pangan yang dihasilkan juga terancam kontaminasi racun atau toksin yang membahayakan kesehatan dan berakibat kronis bahkan mematikan.
Pemerhati keamanan pangan UGM, Prof.Dr.Ir. Endang Sutriswati Rahayu mengatakan salah satu penyebab makanan menjadi tidak aman adalah tercemarnya bahan pangan dengan toksin yang dihasilkan oleh jamur dan dikenal dengan mikotoksin. Sebagai negara tropis, Indonesia sangat rentan terhadap pencemaran jamur dan toksin pada produk-produk pertanian yanng dihasilkan. Salah satu jenis mikotoksin yang cukup membahayakan adalah aflatoksin yang diproduksi Aspergillus flavus.
“Masih banyak produk pangan khususnya berbasis biji-bijian seperti jagung dan kacang yang tercemar aflatoksin,”terangnya, Kamis (1/10) di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM.
Namun demikian, cemaran aflatoksin ini belum begitu disadari oleh masyarakat luas. Hal ini dikarenakan efek samping racun tidak terlihat atau timbul secara langsung seperti halnya pada kejadian keracunan makanan. Efek aflatoksin baru akan terlihat dalam jangka panjang.
“Aflatoksin ini tidak akut dan tidak langsung terlihat seketika, tetapi baru telihat puluhan tahun kedepan dan bersifat kronis-mematikan,”tegasnya.
Cemaran aflatoksin pada produk makanan yang dijual di pasaran sangat berpotensi merangsang timbulnya kanker. Salah satunya menyebabkan kanker hati. Penelitian Liu dan Wu (2010) menunjukkan negara ASEAN berada di posisi kedua sebanyak 27 persen setelah Afrika sebesar 40 persen.
“Hal ini sungguh memprihatinkan sehingga perlu dilakukan suatu tindakan yang komperehensif untuk mencegah munculnya cemaran aflatoksin selama pasca panen dan distribusi,” papar Trisye, panggilan akrab dari Endang Sutriswati Rahayu.
Cemaran aflatoksin tidak hanya membahayakan kesehatan saja, tetapi juga mengancam perekonomian. Dengan produk-produk pertanian lokal yang tidak memenuhi persyaratan akibat kontaminasi alfatoksin menjadikan sulit untuk menembus pasar global.
“Kontaminasi aflatoksin dapat menurunkan daya saing produk-produk pertanian lokal, ”jelasnya.
Penelitian yang dilakukan Trisye menunjukkan masih terdapat kacang tanah dan jagung yang tidak memenuhi persyaratan bahan dasar untuk masuk ke industri besar. Selain memiliki mutu yang rendah juga tercemar aflatoksin. Akibatnya, kebanyakan bahan tersebut hanya masuk skala UMKM untuk diolah menjadi berbagai produk makanan seperti bumbu pecel, kacang atom, enting-enting gepung, dan emping jagung.
“Beberapa produk panganan ini tercemar aflatoksin melebihi batas persyaratan maksimum,”ungkapnya.
Trisye menuturkan jagung, kacang tanah, maupun ikan asin merupakan bahan pangan konsumsi nasional penting yang produksinya melibatkan kurang lebih 40 juta petani dan 2,2 juta nelayan. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian petani dan nelayan terhadap fenomena cemaran aflatoksin yang membahayakan ini.
“Keduanya merupakan ujung tombak dalam penanganan kasus cemaran aflatoksin ini, sehingga kepedulian terhadap hal ini perlu ditingkatkan,”papar Guru Besar FTP UGM ini.
Tingkatkan Kepedulian Cemaran Aflatoksin
Prihatin terhadap fenomena tersebut, Trisye menginisasi terbentuknya sebuah forum komunikasi yang fokus dalam upaya pembangunan sistim keamanan pangan di Indonesia untuk mendukung terwujudnya program ketahanan pangan nasional. Melalui Forum Komunikasi Aflatoksin (AFI) ini para peneliti, akademisi, pemerintah, serta praktisi bersama-sama membahas dan menyusun program untuk meningkatkan kepedulian terhadap cemaran aflatoksin dan sosialisasi pengendalian cemaran toksin ini.
Beberapa kegiatan yang telah dilakukan diantaranya pengendalian aflatoksin pada jagung dan produk pangan berbasis jagung di Provinsi Jawa Timur, membentuk Kampung Teknologi Jepara untuk produksi kacang tanah rendah aflatoksin, dan sekolah lapang produksi kacang tanah di Kabupaten Pati. Disamping itu juga memberikan pendampingan program pengeringan jagung menggunakan SILO bekerjasama dengan Dinas Pertanian DIY dan Kabupaten Sragen.
“Baru-baru ini kami juga mengembangkan model desa Kakao di Gunungkidul,”jelasnya.
Tidak berhenti disitu saja, Trisye juga berpartisipasi aktif dalam penyiapan dan sosialisasi Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang batasan maksimal kandungan mikotoksin dalam pangan. Ia pun aktif menjadi pembicara dalam berbagi forum baik di tingkat nasional maupun internasional untuk berbagi pengalaman terkait hasil penelitian aflatoksin, peningkatan kepedulian dan penanganan masalah alfatoksin pada rantai suplai makanan.
“Peningkatan kesadaran terhadap aflatoksin ini tidak hanya pada petani maupun nelayan saja, tetapi perlu diikuti penerapan good practices di segala lini, from farm to tabel, dalam upaya pengendalian cemaran baik saat panen hingga distribusi,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)