
Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Prof. Dr. Hartono, D.E.A., D.E.S.S, mengatakan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan tahun ini mirip peristiwa di tahun 1997. Hanya saja, kebakaran kali ini jauh lebih parah dengan asap yang telah mengganggu di banyak kehidupan.
Menurut Hartono akibat kebakaran tersebut telah merugikan secara ekonomi, biodiversitas dan kesehatan. Untuk itu perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menanggulangi kebakaran hutan mengingat fakta penyebabnya dapat ditelusuri.
“Penginderaan Jauh dan SIG telah menampilkan data dalam ruang dan waktu yang berguna untuk mengkaji kebakaran hutan. Perlu kiranya sanksi hukum dikaji dengan seksama untuk dapat diterapkan secara adil,”kata Hartono dalam kegiatan roundtable discussion bertema Solusi Kebakaran Hutan dan Lahan Serta Dampak Perubahan iklim, di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (7/10).
Hartono menjelaskan dampak kerusakan lahan akibat kebakaran adalah hilangnya tanaman pertanian dan kerusakan lahan hutan. Selain itu juga mengakibatkan hilangnya lahan rumput, kesuburan tanah air, polusi air permukaan dan polusi air tanah. Akibat lainnya menyebabkan jarak pandang terbatas dan terbentuknya gas rumah kaca. Belum lagi dari sisi kesehatan yang mengakibatkan meningkatnya ISPA.
“Kerugian ekonomi jelas, hilangnya produk perdagangan, penerimaan pemerintah berkurang, berbagai pembatalan penerbangan dan hilangnya pendapatan dari pariwisata. Sedangkan kerugian biodiversitas sinar matahari berkurang, hilangnya tanaman obat-obatan dan spesies langka”, jelasnya.
Sementara itu Ketua Pokja Karhutla, IABI, Prof.Dr. Azwar Maas, menilai sulit untuk mengatasi kebakaran ini karena gambut didrainase untuk sawit dan HTI, sehingga tidak memperhatikan posisinya terhadap zonasi satuan hidrologis.
Selain itu, air tanah menyusut karena tidak ada sumber air pengisinya (luapan pasang surut, hujan atau kubah) dan zona perakaran dangkal kering. Gambut yang semula suka air (hydrophilic) pun menjadi tidak suka air (hydrophobic), kering dan berdebu.
“Tanaman penutup tanah, cover crop dan rumput atau semak menjadi kering karena zona perakarannya tidak mampu menyerap air”, paparnya.
Melihat kondisi tersebut maka muncul beberapa solusi baik jangka pendek, menengah dan panjang. Untuk solusi jangka pendek terkait permasalahan teknis kedaruratan, yaitu aplikasi teknis untuk mengatasi kebakaran. Jangka menengahnya prioritas utama terkait teknis non kedaruratan. Sedangkan untuk jangka panjang, yaitu membuat perencanaan strategis tentang bagaimana peraturan perundangan yang sebaiknya diterapkan, peraturan teknis, peraturan-peraturan lain yang mendukung peraturan mendasar (Humas UGM/ Agung)