Gelombang kapitalisme global yang menerpa orang Sumuri, Papua Barat sejak empat dekade terakhir telah mengakibatkan hilangnya sebagian sumber ekonomi mereka. Sejumlah perusahaan regional maupun multinasional mengambil alih kawasan hutan untuk proyek perkebunan dan penambangan migas. Berbagai cara dilakukan perusahaan-perusahaan besar dalam menerobos dan mempertahankan kekuasaan modalnya di Sumuri. Salah satu pendekatan yang sering dipakai adalah uang “ketuk pintu” untuk kompensasi atas hak-hak masyarakat adat.
Dosen Jurusan Antropologi FISIPOL Universitas Cenderawasih, Akhmad K., mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan melibatkan pengaruh elit-elit lokal dalam masyarakat. Kepala kampung, kepala suku, ketua klen, dan ketua adat tampil menjadi tokoh penting dalam berbagai proses negosisasi dalam pembebasan tanah hak ulayat.
“Ada pelibatan peran oknum negara dan kaum intelektual seperti NGO dalam proses penyingkiran budaya berselubung program pemberdayaan,”jelasnya, Jum’at (16/10) saat ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Menurutnya, sebagian kalangan elit di Sumuri dapat berintegrasi dengan perkembangan kapitalisme tersebut. Namun demikian, kapitalisme global sulit dipahami dalam kehidupan berkomunitas.
“Gesekan kapital dengan masyarakat lokal selalu saja muncul menimbulkan kerugian secara sosial budaya. Sementara negara malah tidak menunjukkan perannya, bahkan berpihak pada perusahaan,”tegasnya.
Mempertahankan disertasi berjudul “Dibawah Sinar obor Flare: Studi Antropologi Atas Respons Orang Sumuri Terhadap Globalisasi Kapital” berbagai respon timbul dari komunitas lokal menyikapi kehadiran perusahan-perusahaan besar di kawasan pesisir selatan Teluk Bintuni. Aksi yang dilakukan antara lain dengan menyandera aset perusahaan seperti speedboat, menutup akses jalan, penyanderaan karyawan hingga menghalangi mitra perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Sejumlah langkah tersebut dilakukan untuk menuntut harga tinggi atas tanah hak ulayat mereka.
“Tanah yang dulu bernilai sosial kini menjadi murni barang ekonomi,”ujarnya.
Akhmad menyebutkan globaliasasi kapital telah membawa tatanan baru pada kehidupan manusia. Masyarakat Sumuri merupakan salah satu potret dinamika komunitas lokal di Papua yang sedang mengalami terpaan perubahan mengikuti perubahan kehidupan sosial, hegemoni ekonomi global menjadi masyarakat global. Intervensi modal secara terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestariannya.
Komunitas Sumuri awalnya relatif bebas struktur dan hidup dalam komunalisme berburu dan meramu. Namun, saat ini dipaksa untuk mengikuti tatanan baru dengan segala sesuatu yang terstruktur dan tersertifikasi. Lingkungan mereka semakin ditekan oleh kekuatan ekonomi dan institusi sosial yang berkembang dari luar (Humas UGM/Ika)