Yogya, KU
Seni yang paling luas persebarannya di Indonesia barangkali adalah wayang. Paling tidak karena ia tersebar di pulau-pulau yang paling padat penduduk, yaitu Jawa, Madura, Bali, dan ditambah dengan beberapa daerah di Sumatera. Namun, wayang tidak sekadar seni pertunjukan. Wayang adalah ekspresi nilai-nilai masyarakat yang membentuk identitas budaya sebuah komunitas, khususnya Jawa.
Dalam batas-batas tertentu, wayang bagi masyarakat Jawa adalah agama kedua. Ia memberi banyak ajaran, tuntunan, dan tatanan nilai kultural, baik melalui representasi jalan cerita maupun citra para tokoh, mulai dari nilai hidup dan kehidupan, hubungan antara sesama dengan Yang Esa, kepemimpinan, kepahlawanan, dan nilai baik-buruk. Di samping itu juga nilai dan citra tentang perempuan, yang tentu saja amat membantu cara pandang khalayak dalam memahami makna dari realitas perempuan.
Demikian disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam pidato orasi budaya yang dibacakan oleh abdi dalem Keraton, R.M. Dinusatomo, dalam pembukaan Konferensi Internasional Wayang di Grha Sabha Pramana UGM, Rabu (15/7) malam.
Sri Sultan mengatakan seni wayang memiliki pesona dan nilai yang tetap aktual. Namun, tidak berarti wayang dapat memainkan peranannya di masa kini. Oleh karena itu, perlu dipikirkan bagaimana cara membuat wayang tetap ditonton orang. “Wayang bukan tanpa kekurangan. Dalam perspektif manusia Indonesia, wayang menghadapi tantangan pokok, wayang tidak memiliki nilai selengkap nilai yang dibutuhkan manusia modern. Wayang kurang akrab dengan pengusaha, rakyat, atau demokrasi. Tidak bisa disalahkan karena wayang lahir dari zaman di era pertanian,” katanya.
Sebagai sebuah sistem nilai, lanjut Sultan, wayang menghadapi tantangan teramat berat. Baginya hanya tersedia dua pilihan. Pertama, menyesuaikan diri dan diterima sebagai wayang baru, tetapi dengan risiko kehilangan makna atau masuk ke dalam dan akhirnya masuk museum serta menjadi barang pajangan saja. Kedua, wayang sebagai sebuah media komunikasi berhadapan dengan masyarakat modern dengan sosio-psiko-ekonomi komunikasi yang baru pula.
“Karena wayang lahir dari kultur budaya lisan, budaya di mana manusia belum mengenal budaya pop, budaya instan, multimedia dan sejenisnya,” ujarnya.
Di samping itu, wayang adalah pertunjukan yang menyita waktu dan hanya dapat dinikmati utuh secara fisikal serta spiritual dalam bentuk sajian langsung (live) dengan durasi pertunjukan lebih dari satu jam. Padahal, waktu adalah komoditi yang paling mahal bagi manusia modern. “Menonton sebuah pertunjukan yang melebihi satu jam, rasanya sekarang sudah menjadi semacam sebuah kemewahan,” imbuhnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng, Ph.D., dalam sambutannya mengatakan bahwa konferensi internasional wayang yang diselenggarakan di kampus UGM ini merupakan sebuah bentuk inisiatif yang sangat positif dan strategis dalam memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan masyarakat global.
“Dari wayang sebenarnya memberikan pemikiran strategis tentang kearifan lokal dalam memberi solusi dari masalah-masalah yang dihadapi dunia saat ini dan masa mendatang,” tuturnya.
Ditambahkan Sudjarwadi, dengan runtuhnya beberapa teori-teori ilmu pengetahuan yang selama ini selalu diyakini kebenarannya, kini banyak para ahli dunia justru memercayai solusi-solusi yang bersumber pada kearifan lokal. (Humas UGM/Gusti Grehenson)