
YOGYAKARTA – Bencana kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan dalam beberapa bulan terkahir ini menjadi keprihatinan berbagai pihak, salah satunya dari Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D. Menurut Dwikorita bencana kebakaran hutan yang hampir terjadi setiap tahun seharusnya bisa dicegah dan dikontrol. Hal ini bisa dilakukan jika pemerintah dan aparat penegak hukum menindak tegas para pelaku maupun perusahaan yang membuka lahan dengan cara dibakar. “Sangatlah ironi apabila kita tidak sanggup mengakhiri rutinitas bencana ini,” kata Dwikorita saat berpidato pada wisuda program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Selasa (20/10).
Menurutnya, ada dua faktor yang menjadi pemicu kebakaran hutan, yakni faktor alam dan faktor aktivitas manusia. Namun, ia menilai faktor manusia-lah yang menyebabkan kebakaran itu terjadi. “Aktivitas membuka lahan dengan cara dibakar maupun keberadaaan kanal buatan yang berfungsi untuk mendrainase atau mengeringkan lahan gambut sebagai pemicu kebakaran,” kata Dwikorita.
Menurut Rektor apa yang disebutkannya itu merupakan hasil kajian tim dari UGM mengenai pemicu kebakaran hutan di lahan gambut. Menurutnya, tim telah melakukan kajian dan menyebutkan sebaran titik api sesuai dengan sebaran kanal-kanal buatan. “Keberadaaan kanal inilah yang memicunya, semakin luas terbukanya lahan jaringan kanal ini, maka makin bertambah pula titik api,” ungkapnya.
Namun begitu, apabila sudah terbakar tidak mudah untuk memadamkan api di lahan gambut. Menurut Dwikorita api yang membakar lahan gambut dengan ketebalan bervariasi dari 1-3 meter sangat sulit dipadamkan serta membutukan volume air cukup banyak. “Untuk memadamkan air dengan luas 1 meter pesegi dengan ketebalan 30 cm dibutuhan 200-400 liter air. Dengan air sebanyak itu bisa dibayangkan berapa volume air dibutuhkan untuk memadamkan 1,7 juta hektar hutan yang terbakar,” ujarnya.
Data dari Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan luas wilayah yang mengalami kebakaran hutan mencapai 1,7 juta hektar. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan kejadian ini cukup besar. Ia mencontohkan Provinsi Riau yang mengalami kerugian mencapai 20 triliun, belum termasuk kerugian untuk wilayah lain. Bahkan, penduduk yang terkena dampak bencana kebakaran di Sumatera mencapai sekitar 25,6 juta penduduk, dan Kalimantan 3 juta jiwa. “Kebakaran hutan dan lahan tentu berdampak juga pada tranportasi udara dan kesehatan masyarakat,” ungkapnya.
UGM sejauh ini telah melakukan kajian intensif dan merekomendasikan beberapa hal penting untuk disampaikan ke pemerintah. diantaranya perlu tindakan segera dalam kondisi darurat melakukan pemadaman dan penanganan dampak serta proses evakuasi dan penanganan korban,” Saya kira proses ini sudah berjalan,” katanya.
Selanjutnya, tim kajian dari UGM juga telah merekomendasikan adanya tindakan penegakan hukum dan disinsentif ekonomi bagi pelaku dan perusahaan yang terbukti melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar. “Perlu penindakan hukum administrasi seperti pencabutan izin perkebunan dan pembebanan pemulihan lingkungan oleh perusahaan, serta gugatan perdata dan pidana untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi,” tegasnya.
Sementara untuk melakukan upaya tindakan pencegahan agar bencana kebakaran hutan dan lahan tidak terulang, Dwikorita menilai pemerintah sebaiknya melakukan penataan kembali tata ruang lahan gambut dan melakukan audit kanal performance. Yang tidak kalah penting, imbuhnya, dilakukan audit kinerja dan audit kepatuhan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan lahan gambut (Humas UGM/Gusti Grehenson)