
Amanat pasal 33 UUD 1945 memposisikan minyak dan gas (MIGAS) sebagai barang publik bernilai strategis. Karena itu, MIGAS tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai komoditas perdagangan, namun sebagai barang publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Karena itu, perlu kejelasan dan kesepakatan terkait tata kelola yang tidak hanya efisien dan adil, melainkan juga menyangga kemajuan Indonesia. Hal ini perlu dikedepankan karena ada kecenderungan reformasi tata kelola MIGAS saat ini lebih banyak membahas terkait kerangka efisiensi rantai produksi, rantai perdagangan dan kenyamanan investasi.
Prof. Purwo Santoso, Guru Besar Fisipol UGM menyatakan tantangan industri bidang ini semakin lama semakin sulit. Menurutnya, tidak ada solusi, selain mengembangkan transformasi dalam jangka panjang.
“Tidak terlalu realistik kalau reformasi itu dilakukan dalam waktu jangka pendek dan lingkup sempit. Untuk kepentingan rakyat sesuai UUD 1945, maka dalam operasionalnya setiap warga negara mestinya tercukupi kebutuhan energinya dimanapun berada,” katanya.
Berbicara dalam Seminar Nasional Reformasi Tata Kelola MIGAS, di ruang Balai Senat UGM, Senin (19/10), Purwo Santoso memaparkan banyak daerah terisolir yang kemudian semakin tetap terisolir karena tidak memiliki energi untuk bergerak. Mereka pun pada akhirnya tidak memiliki kapasitas untuk melejit karena dalam kenyataan tidak ada yang memikirkan kebutuhan energinya.
Sementara pemikiran tentang governance dikembangkan lebih pada pengelolaan uang, namun tidak bisa dipastikan pendistribusiannya. Kalimantan Tengah atau Kalimantan Selatan menjadi salah satu contoh daerah yang menyimpan ironi.
“Dinobatkan sebagai lumbung energi tetapi ketercukupan energi warga tidak terjamin. Listrik byar pet, restoran-restoran harus menyediakan diesel, karena suplai energi tidak terjaga”, katanya.
Karena itu tranformasi governance yang digagas perlu didorong untuk menguatkan peran strategis negara. Sementara itu berbagai kerentanan dibalik peran negara juga harus tetap dikawal.
“Kajian tentang governance sesungguhnya jauh lebih luas daripada pemberantasan korupsi. Namun, yang lebih penting terkait tata kelola migas ini adalah terlindunginya hak rakyat untuk ketercukupan energi,” papar Direktur Program Asia Pasific Knowledge.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Widyawan Prawiraatmaja, menambahkan terkait pengelolaan MIGAS telah terjadi perubahan paradigma, yaitu kebijakan dari subsidi yang konsumtif beralih pada subsidi produktif. Sementara, dalam tataran tata kelola, kini ada tim tata kelola MIGAS, dimana pengambilan keputusan berdasarkan meritokrasi teknik dengan berlandaskan integritas tanpa kepentingan, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok dan sebagainya.
“Dalam pengelolaan MIGAS, kita ingin menghilangkan pola-pola yang berarah pada perburuan rente, sehingga kita pun dituntut berperilaku jujur, transparan dan akuntabel”, tuturnya.
Karena itu, menyikapi rancangan UU MIGAS, kata Widyawan, maka harus dilihat berbagai konteks terkini. Konteks pembenahan, ketahanan energi, konteks keinginan nasional oil compani (NOC) tumbuh besar, berdaya saing dan konteks kehadiran pemerintah. Selain itu, harus memperhatikan konteks pemberdayaan masyakarakat, konteks mengurangi gap dan konteks energi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah.
Seminar Nasional Reformasi Tata kelola MIGAS diselenggarakan Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, bekerjasama dengan Resources Governance in Asia Pasific (RegINA). Turut hadir sebagai pembicara Senior Vice President Exploration, Upstream Directorate PT. Pertamina, Doddy Priambodo, Wakil Kepala SKK MIGAS, M.I. Zikrullah, Kepala Dinas ESDM Kabupaten Bojonegoro, Agus Supriyanto, Direktur NRGI, Patrick Heller, Pejabat fungsional Litbang KPK, Denny Rifky Purwana dan Wagub Bangka Belitung, Hidayat Arsani (Humas UGM/ Agung)