Di Yogyakarta terdapat daerah Enklave Surakarta, yaitu daerah yang dulu menjadi wilayah administrasi pemerintah Surakarta. Lebih tepatnya terdapat dua daerah Enklave Surakarta yang berada di Yogyakarta. Kedua daerah itu adalah Kotagede dan Imogiri.
“Meskipun berasal dari dasar kebudayaan Jawa yang sama, masing-masing pihak ingin berbeda dari yang lain. Perbedaan itu tampak pada budaya kasat mata atau pun tak kasat mata” papar Sulistyowati pada ujian terbuka program doktor Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Jumat (23/10).
Pada kesempatan tersebut Sulistyowati mempertahankan disertasinya berjudul Bahasa Jawa Masyarakat Tutur Enklave Surakarta di Yogyakarta: Kajian Etno-Sosiolonguistik.
Sulistyowati menjelaskan bahwa akibat politik devide et impera terdapat dua wilayah yang tidak dibagi secara tegas. Sehingga menimbulkan satu wilayah yang memuat dua masyarakat berlainan administrasi kewilayahan, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Akibatnya, terjadi persaingan dua kebudayaan besar di wilayah enklave.
Dalam disertasinya Sulistyowati memaparkan adanya pergesekan budaya di Kotagede SK dan Kotagede YK dengan Imogiri SK dan Imogiri YK. Selain terjadi pergesekan perbedaan kebudayaan di wilayah enklave, prinsip-prinsip penggunaan bahasa pun berbeda, yaitu Bahasa Jawa Surakarta dan Bahasa Jawa Yogyakarta.
Menurut Sulistyowati masyarakat enklave saling melabeli identitasnya. Kendati demikian, perbedaan penggunaan bahasa antara bahasa Yogyakarta dengan Surakarta adalah cerminan nilai etika Jawa yang selalu menjunjung tinggi sikap “urmat” dan selalu menjaga harmonisasi dalam interaksi sosial.
“Memiliki induk yang sama dari bahasa Jawa, akibatanya kebahasaan Enklave Surakarta di Yogyakarta tidak dapat dibedakan secara tegas,”katanya.
Karena berada di wilayah Yogyakarta maka tak dapat dipungkiri jika masyarakat enklave Surakarta terpengaruh oleh budaya Yogyakarta. Agar tidak larut dalam budaya Yogyakarta, pemertahanan identitas kultural terlindungi melalui kesetiaan kepada raja dan kebanggaan sebagai pendukung budaya Surakarta.
“Salah satunya terlihat melalui melalui makam raja-raja mataram yang merefleksikan eksistensi Keraton Surakarta dan Yogyakarta,” pungkasnya (Humas UGM/Putri)