Kebanyakan pakar ekonomi Indonesia tidak menganggap penting sistem ekonomi. Mengapa? Kalau Indonesia sudah memutuskan menerapkan sistem ekonomi pasar, maka mekanisme pasar dianggap akan mampu “mengatur” jalannya perekonomian. Mereka menyatakan makin sedikit ekonomi “diatur” makin besar kemungkinan perekonomian berjalan “wajar”, “tertib”, dan “efisien”. Ini berarti aturan ekonomi apapun yang dibuat negara dianggap lebih “mengganggu” mekanisme pasar, dan justru merugikan semua pihak: produsen, konsumen, maupun pemerintah. Demikian pernyataan yang disampaikan Prof. Dr. Mubyarto pada saat Seminar Bulanan ke-26 PUSTEP-UGM (Selasa, 1 Maret 2005).
Menurut Kepala PUSTEP UGM ini, dalam buku teks ilmu ekonomi konvensional memang hanya dikenal 2 sistem ekonomi yaitu sistem kapitalisme dan sistem sosialisme. Karena sistem ekonomi yang disebut terakhir yaitu sosialisme sudah dianggap “keok” (terkalahkan) oleh “kehebatan” sistem kapitalisme, ditandai dengan bubarnya Uni Soviet tahun 1991, maka hanya ada sistem ekonomi tunggal yang unggul di dunia yaitu kapitalisme. “Paham Konsensus Washington tahun 1989 pada saat ini dianggap sebagai versi terbaru sistem kapitalisme dengan 3 pilar utamanya yaitu stabilitas makroekonomi (macrostability), liberalisasi (modal dan uang), dan privatisasi. Meskipun pejabat-pejabat tinggi pemerintah kita mungkin menolak tuduhan terlalu patuh pada paham Konsensus Washington, namun program-program privatisasi dan liberalisasi yang dilaksanakan secara agresif selama ini, khususnya sejak krismon 1997-1998, sulit untuk dibantah sebagai manifestasi penerapan Konsensus Washington,” tutur pak Mubyarto.
“Jika Visi Masa Depan telah kita rumuskan, kita harus menyepakati sistem ekonomi yang akan kita pakai untuk mewujudkan visi tersebut. Sistem ekonomi ini harus mengacu pada “roh” dan semangat Pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila. Sistem ekonomi kita harus Sistem Ekonomi Pancasila,” kata pak Mubyarto.
Ketua Yayasan Agro Ekonomika ini mengatakan, semangat kuatnya paham Konsensus Washington juga memakan korban lain yaitu dilupakannya ideologi Pancasila yang telah “menjadikan” Indonesia. “Bukti-bukti dapat ditunjukkan bahwa Teknokrat Ekonomi Indonesia pada awal Orde Baru (1996) selalu berbicara tentang Pancasila sebagai dasar atau landasan perekonomian Indonesia,” ujar Prof. Mubyarto.
Pria kelahiran Yogyakarta, 3 September 1938 juga menambahkan, sekarang hampir 40 tahun, sangat jarang pakar-pakar ekonomi kita menyinggung ideologi Pancasila dan kaitannya dengan kebijakan atau strategi pembangunan ekonomi Indonesia. Kebanyakan mereka memang “enggan” dan sangat aneh menjadi “alergi” terhadap Pancasila. “Sri-Edi Swasono dalam buku yang diterbitkan PUSTEP-UGM mengeluh bahwa KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) justru makin jelas lebih mengabdi pada pasar (Daulat Pasar) bukan pada rakyat (Daulat Rakyat). UGM pada Dies Natalis ke-55 bulan Desember 2004 mencanangkan gerakan Revitalisasi Jati Dirinya yaitu Pancasila, yang berarti juga akan terus-menerus berbicara tentang Ekonomi Pancasila dan mengembangkannya. Ideologi Pancasila harus menjadi landasan pengembangan sistem dan ilmu ekonomi Indonesia,” tegas pak Mubyarto. (Humas UGM)