Menjadi migran internasional masih menjadi pilihan bagi sebagian keluarga miskin di Indonesia untuk memperbaiki kondisi ekonomi. Dengan bermigrasi, keluarga yang ditinggalkan berharap pada remitansi (pengiriman uang) meskipun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Membatasi mereka untuk tidak bermigrasi tanpa menyediakan lapangan usaha baru tentu bukan kebijakan yang bijak. Upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan perlindungan bagi migran lewat kebijakan fasilitas pembiayaan kredit migrasi bagi rakyat miskin, menyederhanakan prosedur migrasi serta menyediakan banyak lapangan pekerjaan di daerah asal lewat pembangunan infrastruktur.
Demikian yang mengemuka dalam seminar hasil studi Migrasi Internasional Pekerja Asal Ponorogo yang berlangsung di Gedung Magister Studi Kebijakan UGM, Selasa (3/11). Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM dan Asia Research Institute (ARI) National University of Singapore ini menghadirkan peneliti PSKK UGM, Dr. Agus Joko Pitoyo dan peneliti ARI, Silvia Mila Arlini.
Kepala PSKK UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna, mengatakan migrasi internasional sangat mempengaruhi peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin di Indonesia. Di Kabupaten Ponorogo, kata Agus, menjadi pekerja migran internasional sudah menjadi budaya turun temurun. “Alasan migrasi selain faktor ekonomi juga disebabkan adanya proses yang tidak tepat dalam pembangunan di desa,” kata Agus.
Menurut Agus seharusnya program dana desa yang digulirkan pemerintah seharusnya bisa membuka banyak lapangan pekerjaan apabila diarahkan untuk peningkatan pembangunan infrastruktur. Meskipun demikian, Agus masih menyangsikan apakah dana desa bisa dialokasikan untuk infrastruktur, apalagi mampu menekan angka migrasi. Kenyataannya, persentase alokasi anggaran pembangunan untuk infrastruktur di Indonesia hanya 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Dana infrastruktur hanya 2 persen dari PDB, China dan India itu sudah 8-10 persen dari PDB, sehingga kekuatan ekonomi mereka kuat. Saya kira Presiden Jokowi, belajar dari pengalaman India dan Cina, saat ini kita lihat Kementerian PUPR memiliki anggaran besar untuk infrastruktur,” katanya.
Menurutnya, Presiden Jokowi di masa mendatang harus berani mengambil kebijakan untuk meningkatkan alokasi dana pembangunan infrastruktur meskipun tidak mudah menyamai China dan India.
Sementara itu Djoko Pitoyo mengatakan Kabupaten Ponorogo saat ini merupakan daerah penghasil pekerja migran internasional tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Bagi masyarakat Ponorogo, kata Djoko, bekerja di luar negeri telah menjadi gaya hidup turun menurun sejak masa kerajaan Islam di pantai utara Jawa. Bahkan, pekerja migran asal Ponorogo saat ini tersebar di Amerika, Eropa, Hongkong, Taiwan dan Timur Tengah. Dia menyebutkan persentase remitan yang dihasilkan migrant internasional terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kabupaten Ponorogo berkisar antara 30-40 persen.
Silvia Mila Arlini, peneliti ARI, mengatakan sekitar 2,7 persen atau 16 ribu dari 857 jiwa usia angkatan kerja di Ponorogo melakukan migrasi. Salah satu hasil survei yang dilakukan di desa Sampung Ponorogo diketahui 55 persen keuangan keluarga bergantung dari remitansi hasil migrasi internasional. Meskipun demikian remitan itu digunakan untuk kebutuhan konsumtif bukan untuk kegiatan usaha produktif. “Sekitar 51 persen diprioritaskan untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan untuk pendidikan 16,8 persen,” katanya.
Dari hasil studi ini, Silvia menarik kesimpulan bahwa remitansi memiliki peranan penting dalam mendukung keuangan rumah tangga miskin pedesaan di Ponorogo. Ketergantungan yang sangat besar pada remitansi terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Menurutnya, salah satu yang perlu dilakukan pemerintah untuk melindungi pekerja migran adalah memfasilitasi pembiayaan migrasi bagi keluarga miskin, meningkatkan akses pendidikan dan pengetahuan sehingga mereka mendapat pekerjaan serta mendorong manajemen penggunaan remitansi yang lebih baik. (Humas UGM/Gusti Grehenson)