Data-data di lapangan mengungkapkan proses transformasi orang-orang Papua melalui pemekaran daerah sangat rentan diapropriasi (dicuri) oleh para elit yang mengatasnamakan orang-orang Papua non-elit. Oleh karena itu, kondisi di tengah masyarakat Papua menjadi terpecah belah, kehilangan solidaritas bersama, dan transformasi sosial budaya pun menjadi mandeg.
Demikian dikatakan I Ngurah Suryawan di ruang Multimedia Lantai II Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, FIB UGM, Jum’at (6/11) saat menjalani ujian terbuka Program Doktor bidang ilmu-ilmu humaniora (Antropologi). Dosen Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) mempertahankan disertasi Siasat Elit Mencuri Kuasa Negara di Kabupaten Manokwari Selatan Provinsi Papua Barat, dengan didampingi promotor Prof. Dr. P.M. Laksono, M.A.
“Disertasi ini mempermasalahkan bagaimana siasat para elit dalam mengapropriasi kuasa negara di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat melalui permainan identitas budaya. Karena itu saya memilih pendekatan reflektif yang menempatkan subjek identitas budaya orang Papua sebagai ruang penafsiran persoalan resistensi (siasat), perlawanan serta gerakan sosial,” kata Ngurah Suryawan.
Ngurah menyatakan studi tentang transformasi sosial budaya orang Papua menunjukkan ditengah perjuangan untuk transformasi budaya, justru yang terjadi para elit Papua mengobral janji ke atas guna menyelamatkan hubungan kekuasaan. Para elit hanya menjadikan rakyat sebagai alat, mereka memilih berselingkuh dengan rakyat daripada setia dengan masyarakatnya.
“Apa yang didapat elit selama ini dari negara dan kekuasaan jauh lebih besar daripada rakyatnya sendiri. Tawaran jabatan politik dan gelimang peluang ekonomi untuk menambah pundi-pundi materi membuat para elit Papua gelap mata,” ujarnya.
Menurut Ngurah Suryawan, para elit Papua dinilai berhasil bersiasat melakukan tipu muslihat untuk menjejakkan dirinya menjadi representasi dari orang Papua kebanyakan dan antek-antek kekuasaan. Oleh sebab itu, situasi yang terjadi adalah para elit berhasil mengapung dari konflik-konflik internal yang terjadi di tengah masyarakat.
“Studi ini secara etnografis menunjukkan bagaimana proses pergerakan para elit Papua di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Manokwari Selatan (Mansel) dengan apik dan sadar menggunakan identitas etniknya untuk mengakses keuntungan-keuntungan yang ditawarkan dalam pemekaran daerah di Mansel,” tuturnya.
Ngurah menandaskan hambatan nyata dalam melanjutkan transformasi budaya adalah adanya kecenderungan masyarakat Papua dan digerakan oleh para elit untuk semakin mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari sejumlah kelompok etnik dan marga. Pemekaran daerah memfasilitasi kembalinya masyarakat Papua berorientasi kepada kelompok etnik dan marganya dalam memperebutkan properti-properti modern yang ditawarkan melalui pemekaran daerah.
“Kondisi seperti ini jelas saja menghambat kemunculan efek-efek transformasi budaya yang sebenarnya yang sangat dimungkinkan melalui pemekaran daerah,” tandas Ngurah. (Humas UGM/ Agung)