Kiprah perempuan di dunia politik merupakan fenomena sosial budaya yang mengemuka pasca adanya pengakuan negara terhadap perempuan dalam kancah politik. Hal tersebut seiring diterbitkannya UU No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum, anggota DPR, DPD dan DPRD. Kehadiran perempuan diharapkan mampu mewarnai keputusan legislasi yang berkeadilan dan responsif gender. Namun, upaya ini bukan hal yang mudah bagi perempuan karena masih ada dominasi patriarki yang demikian kuat di lembaga lesgilatif sehingga perempuan melakukan resistensi.”Resistensi perempuan di lembaga legislatif merupakan perlawanan yang berbasis ketimpangan dalam relasi gender,” kata Mizbah Zulfa Elizabeth, mahasiwa S3 ilmu humaniora Fakultas Ilmu Budaya UGM yang melakukan penelitian mengenai resitensi perempuan di kalangan anggota DPRD Jawa Tengah.
Dalam ujian terbuka promosi doktor di FIB UGM, Jumat (6/11), Elizabeth mengatakan resistensi muncul karena adanya tekanan. Tekanan yang dialami oleh perempuan dalam aktifitas politik sebagai anggota dewan terjadi akibat adanya budaya yang masih memandang bahwa perempuan tidak layak berbicara secara terbuka. Namun, apabila ada anggota dewan dari kalangan perempuan yang mampu menyampaikan pandangannya secara terbuka dan langsung dalam forum-forum yang formal, menurut Elizabeth, hal itu merupakan hasil dari proses panjang pembelajaran budaya baru yang dihasilkan dari pengalaman pendidikan dan organisasi.
Dominasi patriarki yang dihadapi perempuan berupa maskulinitas dalam keseluruhan proses pembentukan peraturan daerah sehingga membentuk model resistensi yang spesifik. Hal ini terlihat dari para legislator perempuan melalui keseluruhan proses pembentukan peraturan daerah dari proses pengusulan, pembahasan dan penetapan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)