Perkembangan pembangunan industri ke kawasan pinggiran kota di Pulau Jawa semakin terlihat dalam satu dekade terakhir. Kondisi tersebut terjadi karena adanya perkembangan kegiatan perkotaan seperti perumahan, kawasan bisnis, dan lainnya. Pembangunan industri ke arah pinggiran ini akhirnya membentuk suatu koridor yang menghubungkan antar kota besar seperti yang terjadi di Jakarta-Bandung, Surabaya-Malang, dan Semarang-Solo.
Sri Rahayu Budiani, M.Si., dosen program studi Geografi Fakultas Geografi UGM mengatakan fenomena pembentukan koridor Semarang-Solo relatif lebih cepat dibandingkan dengan kawasan lain di Jawa Tengah. Perkembangan industri yang cukup tinggi terjadi di kota-kota sebelah timur kawasan ini dan membentuk koridor dari Kota Semarang hingga Kota Solo.
“Di Koridor Semarang-Solo perkembangan industrinya sangat tinggi, tetapi yang menarik adalah dalam koridor yang tidak terlalu panjang ini terjadi pembanguan industri yang tidak sama,”katanya, Selasa (10/11) saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, di Fakultas Geografi UGM.
Mempertahankan disertasi berjudul “Kajian Spasio Temporal Lokasi Industri Menengah dan Besar di Koridor Semarang-Solo Tahun 2006 dan 2011”, Budiani menyampaikan bahwa keberadaan jalan dan kepadatan penduduk merupakan dua faktor utama yang memengaruhi perkembangan kegiatan industri pengolahan menengah dan besar di Koridor Semarang-Solo. Menurutnya, terdapat perbedaan pengaruh kepadatan penduduk antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Di wilayah perkotaan industri cenderung memilih lokasi dengan kepadatan rendah, sementara di wilayah pedesaan industri cenderung memilih lokasi dengan kepadatan penduduk tinggi.
“Kondisi ini mencerminkan kegiatan industri menengah dan besar memilih lokasi dengan penduduk tidak terlalu padat, tetapi juga tidak di lokasi yang sangat jarang penduduknya. Hal ini dikarenakan di wilayah tersebut kemungkinan masih tersedia lahan yang luas untuk kegiatan industri besar dan tersedia tenaga kerja yang banyak,” urainya.
Budiyani menambahkan jalan mempunyai pengaruh yang sama antara perkotaan dan pedesaan. Semakin dekat dengan jalan arteri, maka lokasi tersebut semakin disenangi pelaku usaha industri menengah dan besar karena akan memperlancar aktivitas industri.
Sementara proses keruangan yang terjadi di Koridor Semarang-Solo sisi utara mengarah pada kuantitas gejala bertambah dan lokasi gejala yang meluas. Proses perluasan tersebut disebabkan adanya pembangunan industri baru yang lokasinya agak jauh dengan industri sejenis yang sudah ada. Sedangkan untuk Koridor Semarang-Solo sisi selatan mempunyai kualitas gejala berkurang, namun lokasi gejala meluas.
“Secara keseluruhan proses keruangan di Koridor Semarang-Solo mempunyai proses keruangan meluas,” jelasnya.
Pola keruangan yang terbentuk dari lokasi kegiatan industri di seluruh wilayah Koridor Semarang-Solo adalah pola keruangan mengelompok, tetapi dengan perbedaan pola di pedesaan dan perkotaan. Pembangunan lokasi industri di wilayah pedesaan membentuk pola sebaran garis teratur, sedangkan di perkotaan membentuk pola sebaran titik mengelompok karena memiliki prasarana transportasi yang lebih baik dan terjangkau kendaraan dari segala arah. (Humas UGM/Ika)